Tiga hari setelah perkawinan, Siti Hartinah diboyong suaminya ke Yogyakarta. Di kota ini Soeharto yang seorang perwira militer bertugas mempertahankan kedaulatan bangsa dari ancaman Belanda. Kini Siti Hartinah telah mendapat tugas baru yaitu sebagai istri komandan resimen.
Di Yogyakarta, Letnan Kolonel Soeharto telah menyiapkan sebuah rumah beserta isinya yang sederhana untuk tempat tinggal mereka. Rumah itu terletak di Jalan Merbabu No. 2. Baru seminggu mereka tinggal di Yogya, Soeharto sudah harus meninggalkan istrinya. Ia ditugaskan ke Ambarawa untuk menghadapi serangan Belanda dari Semarang. Setelah tiga bulan berpisah, barulah Siti Hartinah kembali berkumpul dengan suaminya. Kepergian itu bukan sekali itu saja terjadi. Dalam kondisi darurat, Soeharto sering melakukan perjalanan tugas yang menempuh waktu relatif lama.
Setelah tinggal selama 9 bulan, Ny. Soeharto mulai memperlihatkan tanda-tanda kehamilan. Itu berarti beberapa bulan lagi ia akan memiliki anak. Sayangnya, pada saat itu suaminya justru harus sering meninggalkannya. Aksi militer Belanda yang semakin hebat membut tugas suaminya menjadi lebih berat. Dalam kondisi demikian, Soeharto lebih memilih mendahulukan tugasnya sebagai anggota militer yang harus maju ke medan pertempuran dan meninggalkan istrinya di rumah.
Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948, Siti Hartinah bertambah sulit untuk bertemu Soeharto. Sekali bertemu tidak pernah berlangsung lama, karena Soerharto harus kembali ke pos jaga. Dalam kondisi mengandung, Ny Soeharto sesungguhnya membutuhkan dekat dengan suaminya. Namun, ia memahami tugas berat yang diemban suaminya dan tidak merengek-rengek minta ditemani. Ia pun tidak mengeluh atas nasib yang dialaminya.
Keberadaan kakaknya, Ny Oudang (Siti Hartini), adiknya Hardjanti, Ibu Dwijo dan keluarga Amir Moertono di rumah sungguh sangat membantu. Ia tidak kesepian dan jika ada kesulitan tidak jauh dari orang-orang yang bisa dimintai bantuan.
Pada waktu agresi militer Belanda terjadi, Soeharto praktis tidak bisa berlama-lama bersama keluarganya. Kepada Amir Moertono, Soeharto berpesan agar menjaga istrinya, dan bila perlu mereka semua mengungsi. Ketika kondisi semakin gawat, Siti Hartinah berikut orang-orang yang tinggal di rumah Jalan Merbabu No. 2 mengungsi. Mereka sempat mengungsi ke sebuah ruamh kecil yang kosong yang memiliki banyak kamar di dekat penjara. Pernah suatu kali tentara Belanda datang. Tentara itu sempat melihat kopor yang di atasnya ditumpuk kertas-kertas koran bekas. Sedangkan di bagian bawah adalah pedang dan senjata. Beruntung tentara Belanda itu tidak mengacak-acak kopor. Kalau saja itu terjadi, bisa saja mereka semua ditahan Belanda.
Pada tanggal 23 Januari 1949 di rumah pengungsiannya, Ny Soeharto mengalami kejadian baru yang belum pernah dialaminya. Ia melahirkan anak pertamanya. Pada saat itu, tentara Belanda sering melakukan inspeksi ditambah pemberlakuan jam malam. Ia melahirkan dibantu seorang bidan yang bersedia datang dan menginap di rumah itu. Padahal, biasanya jarang ada bidan yang mau datang. Mereka takut dianggap mata-mata oleh Belanda. Sedangkan dokter, di dalam situasi darurat itu terlalu sulit untuk mencari seorang dokter. Sementara suaminya sedang berada di medan tempur yang tidak diketahui keberadaannya.
Berita kelahiran bayi mungil itu akhirnya sampai ke telinga Soeharto. Ia tentu sangat gembira mendengar berita itu. Sang bayi itu kemudian diberi nama Siti Hardijanti Hastuti (Tutut). Ia pun ingin segera melihat wajah bayinya. Namun, lantaran tugas dan tengah mempersiapkan serangan balasan bagi Belanda, keinginannya itu harus ditunda.
Bulan Januari berlalu tanpa kehadiran Soeharto, sang suami dan ayah dari bayi kecilnya. Bulan Februari pun berlalu begitu saja. Hanya surat-surat dari medan tempur yang diterima sedangkan orangnya masih tinggal di sana. Sebenarnya Soeharto ingin sekali datang, tetapi ia tidak mungkin melakukannya. Rumah pengungsian yang berada dekat penjara yang dikuasi Belanda sangat rawan untuk dikunjungi. Jika ketahuan, ia bisa tertangkap dan akan membuat rencana perjuangan gagal.
Serangan terhadap markas Belanda yang dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret berhasil. Meskipun hanya menduduki Yogya selama enam jam, namun serangan itu telah membuka mata dunia akan keberadaan Indonesia. PBB pun kembali mendesak Belanda agar berunding dengan pemerintah RI.
Setelah berlangsungnya serangan dan Belanda akan menarik mundur pasukan dari Yogyakarta, Soeharto secara diam-diam mendatangi Sri Sultan di keraton. Setelah bertemu, malamnya ia menginap di dapur keraton. Pada saat itu, Soeharto mengirimkan utusan agar istrinya datang ke keraton. Dengan diantar Letnan Amir Moertono, Ny, Soeharto dengan membawa bayi kecil. Mereka pun kemudian bertemu. Itu adalah pertemuan pertama setelah berpisah selama 4 bulan. Soeharto tidak habis-habis mencium bayinya. Pertemuan itu hanya berlangsung selama satu jam, karena Soeharto harus kembali ke garis depan. Pertempuran belum selesai.
Setelah keadaan benar-benar aman dan pemerintah RI kembali ke Yogya, keluarga Soeharto pun kembali berkumpul. Posisi Soeharto pun sudah berubah. Ia kini menjadi Komandan Brigade III Divisi Diponegoro.
Hengkangnya Belanda dari bumi pertiwi tidak berarti masalah selesai. Pemberontakan dari dalam pun mulai bermunculan. Salah satunya adalah pemberontakan Andi Aziz di Makassar. Untuk mengatasi pemberontakan dibentuklah satu pasukan ekspedisi di bawah kepemimpinan Kolonel Kawilarang. Brigade Mataram/Divisi III Jawa Tengah diputuskan sebagai salah satu bagian ekspedisi. Letkol Soeharto ditugaskan sebagai komandan pasukan Garuda Mataram untuk menumpas pemberontakan.
Tanggal 21 April 1950 Brigade Garuda Mataram meninggalkan Semarang. Siti Hartinah kembali harus berpisah dengan suaminya. Ia sadar akan tugas penting suaminya, meskipun hatinya sedih dan ingin selalu bersama sang suami.
Setelah suaminya pergi menunaikan tugas, Ny. Soeharto tidak tinggal diam. Dia mengunjungi istri-istri prajurit anak buah suaminya. Dia merasakan di hati istri tentara itu terdapat kegelisahan dan kekhawatiran akan terjadi sesuatu yang buruk pada suami mereka. Sulitnya komunikasi membuat perasaan khawatir itu semakin menjadi karena tidak tahu bagaimana keadaan yang sebenarnya terjadi di Makassar.
Setelah beberapa bulan berpisah, Siti Hartinah memutuskan untuk mengunjungi suaminya di Makassar. Ia tidak sekadar rindu, tetapi menurut pemikirannya, kepergiannya itu akan membantu menghilangkan paling tidak mengurangi kecemasan istri prajurit. Sebelum berangkat, sekali lagi, Ny. Soeharto mengunjungi istri prajurit dan bertanya apakah ada yang ingin menitipkan surat untuk suaminya. Ternyata sangat banyak surat titipan. Ia dengan senang hati membawa surat-surat tersebut. Surat itu tentunya akan menambah semangat suami mereka yang ada di garis depan.
Siti Hartinah hanya satu minggu berada di Makassar. Ia tidak ingin berlama-lama, karena yang terpenting dari misinya adalah melihat dengan mata kepala sendiri kondisi dan situasi pasukan, menyampaikan titipan-titipan dari rumah, dan tentu saja bertemu dengan suaminya. Dalam keberangkatannya itu ia membawa anak sulungnya Tutut yang baru berusia 14 bulan. Selama perjalanan Tutut tidak rewel sama sekali.
Perjalanan singkat itu telah cukup baginya untuk mengabarkan kepada istri-istri prajurit tentang situasi di medan perang. Ny. Soeharto mengabarkan situasi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Hal itu mengurangi rasa kekhawatiran dan kegelisahan mereka. Hingga akhirnya pada bulan September 1950 seluruh prajurit Brigade Mataram kembali ke Yogyakarta, kecuali 17 orang prajurit yang gugur. Pasukan KNIL/KL telah menyerah dan meninggalkan Makassar.
Pada tanggal 1 Mei 1951, keluarga Soeharto bertambah semarak setelah kehadiran anak kedua yang diberi nama Sigit Haryoyudanto. Kali ini kelahiran terjadi tidak dalam suasana darurat. Tidak lagi di pengungsian dan jauh dari suami. Ny. Soeharto melahirkan di rumah bidan dan ditunggu suaminya.
Beberapa bulan setelah Sigit lahir, Soeharto diberi tugas untuk memimpin Brigade Pragola I di Salatiga. Mereka sekeluarga pun akhirnya meninggalkan Yogya menuju Salatiga. Pada tanggal 1 Maret 1953, keluarga itu harus pindah rumah lagi. Kali ini menuju kota Solo. Di kota ini Letnan Kolonel Soeharto menjabat sebagai Komandan Resimen 15 (eks Brigade Panembahan Senopati). Ketika meninggalkan Solo enam tahun lalu, mereka tidak membayangkan akan kembali ke kota itu dengan posisi yang jauh berbeda. Kini Letkol. Soeharto adalah orang nomor datu di jajara hierarki militer kota Solo. Di kota inilah lahir putra ketiga mereka yang diberi nama Bambang Tri Hatmojo pada tanggal 23 Juli 1953.
Anak keempat, Siti Hediati Haryadi (Titik) lahir pada tanggal 14 April 1959 di Semarang. Pada saat itu Soeharto menjabat sebagai Panglima TT-IV/Diponegoro. Ia lahir ketika kondisi keluarga relatif berkecukupan.
Kelahiran anak kelima yang diberi nama Hutomo Mandala Putra (Tomy) pada tanggal 12 Agustus 1962 cukup istimewa. Pada saat itu Ny. Soeharto tidak dapat ditunggui suaminya yang tengah mengemban tugas besar untuk membebaskan Irian Barat dengan nama Operasi Jayawijaya. Soeharto diberi kepercayaan sebagai Komando Mandala.
Putri bungsu, Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamik) lahir melalui operasi di Jakarta pada tanggal 23 Agustus 1964. Pada saat itu Soeharto menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Mamik dioperasi karena letak bayi dalam keadaan sungsang.
Ny. Soeharto mengakui, hidup dengan mengandalkan gaji suaminya cukup berat. Meskipun demikian, ia tidak mengeluh dan tidak meminta lebih secara materi. Apa yang diberikan suami, itulah yang digunakan untuk mengurus rumah tangga meskipun tidak cukup. Untuk mengatasinya, ia sering membuat kain batik. Kain itu dijual ke kerabatnya. Hasilnya digunakan untuk menutupi kekurangan penghasilan suami. Ia tidak malu melakukan hal itu, karena yang dilakukannya adalah pekerjaan halal dan legal serta bukan meminta-minta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Sri Suhartinah Semasa Menjadi Istri Prajurit"
Posting Komentar