Si empunya ruangan, Mohammad Syahril memang lebih senang mengumpulkan foto dalam sebuah album. Di ruangannya itu pun memang ada setumpuk album foto. “Saya memang senang memotret dan dipotret ha ha ha,” ujarnya saat dijumpai Espos di ruang kerjanya BBKPM, Jl Prof Dr Soeharso 28 Solo, Rabu (25/5).
Syahril punya kisah tersendiri tentang foto di awal merintis kariernya. Apalagi kisah tentang mengumpulkan foto pernah mengantarkannya meraih predikat dokter teladan nasional pada 1994 dan puskesmas dengan pelayanan prima pada 1997.
Syahril pun lalu menceritakan bagaimana pergulatannya itu. Pada 1990, Syahril ditempatkan di Puskesmas Simo Boyolali. Ia ingat betul saat itu kondisi puskesmas ala kadarnya. Ia pun masih menyimpan potretnya. Syahril mengawali kiprahnya dengan memperbaiki sedikit demi sedikit fisik puskesmas. “Saya ingin menunjukkan bahwa puskesmas itu bersih dan pelayanannya bagus,” ungkapnya.
Selanjutnya, Syahril menggerakkan masyarakat membentuk sejumlah komunitas. Sebutlah seperti paguyuban usia lanjut, paguyuban penderita TBC sampai menggerakkan program usaha kesehatan sekolah (UKS) di sejumlah sekolah. Tak berlebihan atas perannya itu, ia diganjar predikat Dokter Teladan Nasional.
Penghargaan itu tak lantas membuat Syahril bangga. Syahril terus memperbaiki pelayanan puskesmas maupun membina komunitas-komunitas yang masih berjaya hingga kini. Kebetulan, pada 1997 ada lomba pelayanan instansi pemerintah terbaik.
Saat itu, tak terpikirkan bagi Syahril mendapatkan juara. Maklum, ini bukan hanya lomba antarpuskesmas tapi semua instansi pemerintah. Jurinya dari berbagai kalangan, mulai dari DPR sampai wartawan. “Bayangkan saja saat itu saingannya rumah sakit, Telkom dan bank,” ungkap anak kesembilan pasangan H Mansyur dan Hj Rasti ini.
Tanpa disangka, puskesmas mungilnya menjadi juara. Dari perannya itu, ia mendapatkan penghargaan Abdi Satya Bakti. Syahril pun menduga kelengkapan dokumentasi dari puskesmas yang dipimpinnya menjadi nilai plus tersendiri.
Spirit ala puskesmas itu ia terapkan pula di BBKPM. Syahril memperbaiki sarana serta menggerakkan semangat karyawan. “Karena saya terus bergerak dan saya contohi, mindset untuk bekerja lebih baik melekat pada karyawan,” ungkapnya.
Berdagang jagung
Tapi, pergulatannya dengan dunia kedokteran dan pelayanan masyarakat sebetulnya tak pernah terpikirkan oleh Syahril kecil. Saat Kelas I SD, ia sudah ditinggal sang ayah. Praktis saat itu ia dan saudara-saudaranya mesti membantu mengokohkan perekonomian keluarga.
Syahril ingat di SD hingga SMP ia berjualan jagung bakar di dekat rumah. Toh, kegiatan itu tak pernah mengganggu sekolahnya. Bahkan prestasi Syahril terbilang bagus dan sejak SD mendapatkan beasiswa.
Tak terkecuali di bangku kuliah. Ia selalu mendapatkan beasiswa Supersemar. Hanya, sebetulnya Syahril awalnya tak berminat mengambil Jurusan Kedokteran. “ Waktu itu Kedokteran malah iseng saja. Saya diterima di HI UGM,” ungkapnya.
Tetapi, kakak-kakaknya memintanya untuk mengambil Jurusan Kedokteran. Syahril setuju. Yang ia ingat saat kali pertama daftar ulang, ia tak bisa membayar uang sumbangan meski sifatnya sukarela. Padahal sebagian besar teman-temannya berlomba-lomba memberikan sumbangan.
Syahril mengaku menjalani proses belajar pada tahun pertama mengalir saja. Barulah tahun kedua Syahril merasa perlu tantangan lain sekaligus untuk menopang biaya hidupnya. Syahril pun merintis usaha. Berbekal modal seadanya, dia memanfaatkan sebagian area gedung kegiatan mahasiswa di Fakultas Kedokteran untuk berjualan aneka kebutuhan mahasiswa seperti kertas surat, amplop, kaus sampai topi . “Saat itu, kertas surat menjadi barang yang paling dicari karena belum ada telepon,” ungkapnya.
Setelah usahanya cukup berkembang, Syahril lalu mengepakkan sayap dengan bergabung di Koperasi Mahasiswa (Kopma). Dari sanalah nama Syahril kian melambung. Terlebih Kopma yang dikomandoinya beberapa kali berhasil mendatangkan menteri dan tokoh nasional dalam seminar.
Tak puas sampai di sana, setelah menjadi dokter, Syahril membentuk yayasan yang anggotanya alumni penerima beasiswa Supersemar. Kini, Yayasan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar di antaranya menaungi Politeknik Surakarta dan SMK Teknosa. “Sekarang, tidak ada impian yang khusus, yang penting tetap berbuat yang terbaik,” pungkasnya.
Biodata
dr Mohammad Syahril SpP
Lahir : Lahat, 23 Juli 1962
Alamat : Perum Griya Kelapa Permai 12 Blulukan Colomadu, Karanganyar
Istri : dr Fatinah Suraya MKes
Anak : Firda Amalia, Akbarilman Satinputra
Pendidikan
* SD Santo Yosef, Lahat Sumatra Selatan, lulus 1974
* SMP Santo Yosef Lahat, Sumatra Selatan, lulus 1977
* SMA Bhineka Tunggal Ika Jogja, lulus 1981
* Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS), lulus 1988
* Spesialis Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), lulus 2003
Pekerjaan
* Kepala Puskesmas Simo Boyolali, 1990-1997
* Dokter PPDS Paru RS Persahabatan Jakarta, 1998-2009
* Kepala Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Solo, 2004-sekarang
Organisasi
* Sekretaris Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Solo, 2000-sekarang
* Humas Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Pusat, 2008-2011
* Sekretaris Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Solo, 2008-2011
* Ketua I Yayasan Asma Indonesia Cabang Solo, 2006-sekarang
* Konsultan Klinik Assalaam Medical Center, Ponpes Assalaam
* Ketua Yayasan Institut Pengembangan Kewirausahaan dan Kejuruan Indonesia (IPPKI)
Penghargaan
* Dokter Teladan Nasional, 1994
* Abdi Satya Bakti dari Presiden Soeharto, 1997
Kuliner dan sepenggal kisah SMA
Sebagian orang bilang, masa SMA adalah momentum yang paling mengesankan. Tapi, itu tidak berlaku bagi Syahril. Syahril merasa kehidupannya di SMA boleh dibilang penuh perjuangan.
Syahril pernah mengenyam SMA selama setahun di Cianjur. Sayang, ia tak betah karena menurutnya sekolahnya itu tak memberikan tantangan akademis lebih. Ia lalu pindah ke Jogja. Alih-alih mendapatkan sekolah yang prestisius, ia hanya bisa masuk sekolah yang tak populer. Maklum, karena pindahan, Syahril memang tak bisa masuk sekolah favorit. “Waktu itu di Cianjur ikut kakak,” katanya.
Syahril ingat ketika sebagian besar teman-temannya menikmati masa remaja dengan suka cita, ia justru harus bergulat untuk mempertahankan eksistensi di sekolah. Demi tetap bisa merampungkan sekolah, Syahril harus sering menemui kepala sekolah untuk meminta keringanan biaya SPP. “Dulu, saya ingat didiskon 50%. Untung kepala sekolahnya baik.”
Tapi bagi Syahril, atmosfer perjuangan di Jogja meniupkan spirit kehidupan lebih cerah. Syahril lebih kerap menghabiskan waktu senggang saat remaja di kos atau perpustakaan. Maklum, kalau harus mengisi waktu luang dengan ikut-ikutan kongkow bersama teman-temannya, butuh modal tak sedikit.
Toh kini, sepenggal kisah SMA itu terbayar sudah. Kini, di waktu senggangnya, ia bisa bebas mengekspresikan diri. Tapi, Syahril mengaku lebih senang memanfaatkan waktu luang bersama keluarga dengan menjelajah kuliner Soloraya. Satu menu yang paling jadi favoritnya adalah seafood.
Kalau tak berkuliner ria, Syahril memilih jogging maupun berkebun. Ia paling suka merawat tanaman di rumah. Kalau ingat tanaman, Syahril juga selalu ingat puskesmas. Berkat ditanami sejumlah tanaman, Puskesmasnya tampil lebih menarik meski hanya di desa. Syahril mengaku banyak sekali kenangan yang terukir di Simo. “Waktu di Simo, pasien saya itu banyak. Pasien saya fanatik sekali.”
Namun, saat itu, Syahril tak mau terlena dalam zona kenyamanan itu. Itulah sebabnya, pada 1998, ia memutuskan melanjutkan studi dokter spesialis di Jakarta. Syahril memilih spesialis paru lantaran terinspirasi anggota keluarganya yang menderita asma
Tak lelah kampanyekan bahaya rokok
Besok Selasa (31/5) merupakan Hari Antirokok Sedunia. Sebagai Kepala BKKPM, Syahril sadar betul momentum itu menjadi sarana untuk mengampanyekan antirokok.
Ia pun menyusun sejumlah agenda. Mulai dari menggelar aksi pada saat car free day sampai menggelar seminar. Kepedulian itu sebetulnya tak semata-mata karena ia menjadi Kepala BKKPM. Sebagai dokter, ia miris melihat penderita kanker paru maupun penyakit paru-paru lainnya akibat rokok semakin tinggi.
Omong-omong, apakah Syahril benar-benar tak pernah merokok? Syahril mengaku pernah merokok saat aktif di Kopma UNS. Saat itu, ia kerap mendapat bonus rokok dari pemasok barang di Kopma. “Tidak sampai kecanduan, sejak co ass berhenti total,” ujarnya sambil tersenyum.
Syahril menjelaskan mengapa kebiasaan merokok susah dihentikan karena rokok sama halnya candu. Rokok mengandung zat adiktif. Terlebih di Indonesia produsen rokok amat kuat. Rokok menjadi sponsor berbagai acara. “Kita melawannya dengan hati. Kita juga tidak mungkin langsung tiba-tiba menutup pabrik rokok. Edukasi harus dilakukan terus-menerus di berbagai lini,” ungkapnya.
Dalam edukasi ini diperlukan kerja sama berbagai pihak. Pemerintah, menurut Syahril, mestinya lebih serius menangani masalah rokok. Taruhlah dengan membuat tempat-tempat khusus merokok serta memberikan sanksi tegas bagi orang yang merokok sembarangan.
“ Saya optimistis kalau serius nantinya Indonesia pun bisa seperti di Singapura atau Jepang. Tapi memang butuh kesabaran. Jepang butuh waktu puluhan tahun untuk membiasakan orang buang sampah pada tempatnya,” ungkapnya.
Dan Syahril telah membuktikan betapa kesabaran membuahkan hasil. Ketika awal bekerja di BKKPM, ia masih menemui beberapa dokter dan karyawan yang merokok di ruang kerja. Dengan edukasi dan kesabaran, toh kebiasaan itu bisa dihilangkan.
Termasuk pengantar pasien yang semula masih merokok di ruang tunggu atau di halaman BKKPM, kini sudah tak ada lagi yang menyedotnya.
Demi menunjang itu semua, sejak menjabat, Syahril membentuk klinik berhenti merokok.
Tak hanya itu, Syahril kini sedang getol mengampanyekan pencegahan dan penanganan penyakit paru lainnya khususnya TBC karena kini ditemukan TBC yang kebal terhadap obat. Belakangan kasus-kasus TBC disertai HIV ataupun sebaliknya juga semakin meningkat. Hal ini menjadikan beban ganda bagi pasien. “Sehingga penanganannya harus secepat mungkin,” ungkapnya.
Energi selalu melimpah
Widyastuti Nurhayati memang tak pernah tahu masa kecil Syahril.
Tapi, keterlibatannya di Yayasan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar yang kini berkembang menjadi Institut Pengembangan Kewirausahaan dan Kejuruan Indonesia (IPPKI) itu membuatnya cukup paham sepak terjang Syahril di dunia pendidikan.
Wiwid, sapaan akrabnya, menilai Syahril merupakan sosok pekerja keras dan selalu optimistis mengembangkan lembaga pendidikan Polsa maupun SMK Teknosa yang baru berumur tiga tahun itu. Meski tak sedikit lembaga pendidikan swasta yang mati suri, Syahril terus optimistis bahwa lembaga pendidikan yang turut dikelolanya itu terus berjalan. “Kata Pak Syahril, harus selalu berinovasi,” ujar perempuan yang kini duduk di Badan Pelaksana Yayasan saat dijumpai Espos di ruang kerjanya Jl Pakel 66 Sumber, Solo, Rabu (25/5).
Itulah sebabnya, menurut Wiwid, meski aktivitasnya begitu banyak, Syahril selalu menyempatkan waktu untuk Yayasan. Energi Syahril selalu melimpah ketika diminta untuk membantu orang lain. Ketika menghadapi masalah, Syahril di mata Wiwid selalu bisa membuat masalah yang tampak rumit menjadi sederhana. “Kalau menyikapi masalah selalu terlihat santai tapi tuntas. Walaupun aktivitasnya banyak, seperti tidak ada capeknya. Mungkin karena dokter, jadi pandai menyiasati,” ungkapnya.
Oleh : Fetty Permatasari
Sumber: //www.solopos.com
0 Response to "Mohammad Syahril Dari Simo meraih gelar teladan"
Posting Komentar