Mengenang Almarhum Ki Anom Suroto

 



Sang Dalang dari Lima Benua yang Menghidupkan Wayang dengan Jiwa

Dunia pedalangan Indonesia berduka.
Dalang kondang asal Sukoharjo, Kanjeng Raden Tumenggung Haryo Lebdo Nagoro atau yang lebih dikenal sebagai Ki Anom Suroto, berpulang pada Kamis, 23 Oktober 2025. Maestro wayang kulit purwa itu meninggal dunia di RS dr Oen, Kandang Sapi, Solo, setelah lima hari dirawat akibat serangan jantung.

Putranya, Jatmiko, mengungkapkan bahwa sang ayah sempat berjuang melawan sakitnya dengan tabah.

“Sakit jantung, sudah lima hari dirawat. Meninggal jam 7 pagi tadi di RS dr Oen Solo,” ujarnya seperti dikutip dari detikJateng.

Kepergian Ki Anom Suroto meninggalkan duka mendalam bagi dunia seni tradisi Indonesia. Ia bukan sekadar dalang — ia adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan budaya Jawa, yang mampu membawa wayang kulit tampil di panggung dunia.

Perjalanan Hidup Sang Maestro

Lahir di Solo, 11 Agustus 1948, Ki Anom Suroto tumbuh dalam keluarga seniman. Bakat pedalangannya diwarisi dari sang ayah, Ki Sadiyun Harjadarsana, yang sejak dini menanamkan nilai-nilai luhur pewayangan. Di usia 12 tahun, Anom kecil sudah memegang cempala dan keprak, mempelajari seni tutur dan irama sabetan dengan penuh semangat.

Ia menimba ilmu dari banyak guru besar, termasuk Ki Nartasabdo, dan belajar di berbagai lembaga seni seperti Himpunan Budaya Surakarta (HBS), Pasinaon Dalang Mangkunegaran (PDMN), Pawiyatan Kraton Surakarta, serta Habiranda Yogyakarta — tempat ia sempat belajar dengan nama samaran Margono.

Bakat dan kerja kerasnya berbuah hasil. Pada 1968, Anom tampil di Radio Republik Indonesia (RRI) setelah lolos seleksi ketat. Sejak itu, namanya mulai melambung di dunia pedalangan. Sepuluh tahun kemudian, 1978, ia diangkat menjadi abdi dalem Penewu Anon-anon dengan gelar Mas Ngabehi Lebdocarito.

Dalang yang Mendalang di Lima Benua

Hingga penghujung abad ke-20, Ki Anom Suroto menjadi satu-satunya dalang Indonesia yang pernah mendalang di lima benua. Tahun 1991, ia tampil di Amerika Serikat dalam pameran KIAS (Kebudayaan Indonesia di AS), memperkenalkan wayang kulit kepada dunia. Setelah itu, ia berkeliling ke Jepang, Spanyol, Jerman Barat, Australia, hingga Rusia pada 2018.

Untuk memperdalam pemahamannya tentang mitologi dewa-dewa, ia bahkan sempat dikirim ke India, Nepal, Thailand, Mesir, dan Yunani oleh Dr. Soedjarwo, Ketua Umum Sena Wangi.

Penghargaan dan Pengabdian

Kiprah besarnya mendapat pengakuan dari negara. Pada 1995, Presiden Soeharto menganugerahkan Satya Lencana Kebudayaan RI kepada Ki Anom Suroto. Dua tahun sebelumnya, dalam Angket Wayang Indonesia VI (1993), ia dinobatkan sebagai Dalang Kesayangan Publik.

Selain di panggung, Ki Anom juga aktif di organisasi pedalangan. Ia pernah menjabat sebagai Ketua III Pengurus Pusat PEPADI (1996–2001). Dari Keraton Surakarta, ia mendapat anugerah nama Lebdocarito, lalu pada 1997 dikukuhkan dengan gelar kehormatan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Lebdonagoro.

Rebo Legen: Warisan dari Rumah Sang Dalang

Di luar panggung, Ki Anom dikenal sebagai sosok pembina seni yang rendah hati dan penuh dedikasi. Ia rutin menggelar sarasehan seni “Rebo Legen” di rumahnya di Jl. Notodiningratan 100, Surakarta — setiap Rabu Legi, sesuai hari pasaran kelahirannya. Acara ini menjadi ajang berkumpulnya para seniman, tempat mereka berdiskusi, saling memberi kritik, dan menjaga api seni pedalangan tetap menyala.

Tradisi itu kini terus berlangsung di Kebon Seni Timasan, Pajang, Sukoharjo, di mana berdiri megah Joglo di atas lahan 5000 m² — simbol persaudaraan dan kebersamaan para pelaku seni.

Sang Pencipta dan Pembaharu

Selain mendalang, Ki Anom juga produktif menciptakan gending Jawa dan lakon-lakon baru. Beberapa gending ciptaannya antara lain Mas Sopir, Berseri, Satria Bhayangkara, ABRI Rakyat Trus Manunggal, Nyengkuyung Pembangunan, Nandur Ngunduh, dan Salisir.

Ia juga menggubah lakon seperti Semar Mbangun Kahyangan, Anoman Maneges, Wahyu Tejamaya, dan Wahyu Kembar — garapan yang memperlihatkan kemampuannya dalam menafsir ulang kisah klasik agar tetap relevan dengan zaman.

Tak hanya itu, ia turut menggagas Koperasi Dalang “Amarta” serta Yayasan Sesaji Dalang, lembaga yang membantu kesejahteraan para seniman pedalangan dan pelestarian kesenian tradisi.

Warisan yang Tak Pernah Padam

Dalam hidupnya, Ki Anom Suroto dikenal sebagai dalang yang selalu menyatu dengan rakyat. Ia bisa tampil di istana, tapi juga tak segan menghibur di desa-desa. Dalam setiap pertunjukan, ia selalu menyelipkan pesan moral, kebijaksanaan Jawa, dan semangat kebangsaan.

Kini, wayang Indonesia kehilangan salah satu sosok terbaiknya. Namun, nama dan karya Ki Anom Suroto akan terus hidup dalam setiap sabetan, suluk, dan gending yang mengiringi bayangan wayang di kelir.

Ia adalah bukti nyata bahwa seni tradisi bukan sekadar warisan — tetapi nyawa budaya yang terus menyala melalui tangan-tangan mereka yang mencintainya.

Seperti pesan Jawa yang kerap ia ucapkan,

“Urip iku urup” — hidup itu harus memberi terang bagi sesama.

Dan terang itu, dari seorang Ki Anom Suroto, akan terus menyala.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mengenang Almarhum Ki Anom Suroto"