Latest News

GABUNGAN

Bambang Marsono

Prof. DR. H. Bambang Marsono MA, MSc, MBA, PhD (lahir di Solo, Jawa Tengah, 23 Maret 1943; umur 67 tahun) adalah seorang akademisi dan tokoh pendidikan Indonesia.

Pendidikan
Bambang Marsono lulus dari Universitas Gadjah Mada pada 1968 dengan gelar Sarjana Muda dan meneruskan ke Universitas Padjajaran Bandung sampai dengan tahun 1970 jurusan bahasa Inggris. Mendapatkan gelar Master of Science (MSc) di bidang Management Science dari The Henley College run jointly with Brunel the University of West London, England pada tahun 1986, dan gelar Master of Arts (MA) di bidang Applied Linguistics dan TESOL (The Teaching of English to Speakers of Other Languages dari School of Education, University of Leicester pada tahun 1989. Tahun 1993, beliau mendapatkan gelar Master of Business Administration (MBA) dari Hogeschool van Utrecht run jointly with STIE Trianandra Jakarta, Indonesia.

Mengikuti kuliah sejak tahun 1994, beliau akhirnya mendapatkan gelar PhD (Doctor of Philosophy)di bidang Human Resources Management dari Pacific Western University of Hawaii, USA di tahun 1997. Ia juga mendapatkan gelar Doktor di bidang Manajemen Pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta pada tahun 2003. Tahun 2007 memperoleh gelar Magister Manajemen dalam Bidang Pemasaran Internasional dari STIE TRIANANDRA Jakarta.

Karier
Karier Bambang Marsono dimulai sebagai guru bahasa Inggris SMA Muhammadiyah III, SMA Tjokroaminoto Yogyakarta dan SMEA Muhammadiyah Ujungberung, bandung dari tahun 1964-1969. Setelah itu, bekerja sebagai copywriter, radio dan film producer, traffic controller sampai dengan account executive di Lintas International Advertising Service. Ia juga menjadi copywriter paruh waktu untuk Matari Advertising, dari tahun 1969-1973. Pada tahun 1970, mulai membangun kursus bahasa Inggris Oxford Course Indonesia.Di tahun 1993-1998, diangkat sebagai Visiting Professor dalam bidang International Management di Utrecht Professional University, The Netherlands. Dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang International Business, Cross Cultural Management,dan Business Ethics oleh Menteri Pendidikan Nasional pada tanggal 30 November 2007. Pada tanggal 30 Juni 2008 memperoleh Sertifikat Pendidik dari Depaartemen Pendidikan Republik Indonesia.

Bambang Marsono juga adalah pendiri STIE Trianandra, Prawira Martha Academy of Foreign Languages, Universitas Satyagama, LPG Prawira Martha, SMA-SMK Parwira Martha, IABA, dan Asosiasi Doktor Pendidikan Indonesia(ADPI)dan sejumlah sekolah-sekolah formal maupun lembaga pendidikan non formal lainnya di Indonesia.

Perjalanan Hidup Andjar Any
POSTED ON FEBRUARI 21, 2011

Andjar Mudjiono atau Andjar Any (lahir di Ponorogo, 3 Maret 1936 – meninggal di Surakarta, 13 November 2008 pada umur 72 tahun) adalah pencipta lagu langgam Jawa, sastrawan (terutama sastra Jawa modern), wartawan, dan kritikus seni asal Surakarta.

Di antara sekitar 1000-an lagu karangannya, yang populer dan tetap disukai hingga sekarang adalah Jangkrik Gènggong, Yèn ing Tawang Ana Lintang, Nyidam Sari, serta Taman Jurug.

Pada tahun 1950-an langgam Jawa mulai disukai orang. Penyanyi yang dikenal saat itu adalah Waldjinah, yang menyanyikan sejumlah lagu karangan Anjar Any, juga Ki Narto Sabdo dan Gesang. Pada masa kebangkitan campursari dan congdut, lagu-lagunya kembali dikenal orang.

Selain dikenal sebagai penulis lagu, Andjar Any banyak menulis cerpen (cerkak, crita cekak) serta geguritan (puisi bebas berbahasa Jawa). Sebagai wartawan ia pernah mengasuh koran lokal Pos Kita. Tulisan lainnya adalah sejumlah kronik sejarah. Cakupan minat seninya juga merambah ke aspek seni pertunjukan. Ia pernah memimpin suatu organisasi pembina reog. Selain itu, ia mendirikan pula grup campursari “Sangga Buana”.

Andjar Any menikah dengan Niek Piyatni dan pasangan ini dikaruniai lima anak. Pada bulan Maret 2008 ia masih sempat merayakan perkawinan emasnya (50 tahun). Ia wafat setelah sakit strok beberapa waktu. Jenazahnya dimakamkan di Astana Bibisluhur, Sala.


Anand Krishna dan Perjalanan Hidupnya
POSTED ON FEBRUARI 21, 2011

Anand menempuh pendidikan dasarnya di Lucknow, India Utara. Di sana ia bertemu dengan Guru Spiritual pertamanya, Sheikh Baba. Berprofesi sebagai penjual es balok, Orang Suci ini justru tak dikenali oleh orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Tapi Beliau memainkan peranan penting dalam proses “kelahiran” Anand Krishna yang sebelumnya memang sudah amat familiar dengan puisi-puisi dan ajaran Sufi yang ditulis oleh Shah Abdul Latief dari Sind, lewat Sang ayah, Tolaram.

Ia bekerja sambil studi. Anand Krishna memperoleh gelar Master dari Universitas Pacific Southern, Amerika Serikat, dan pernah mencapai puncak karier sebagai Direktur dan Pemegang Saham sebuah Perusahaan Garmen di Indonesia, sampai akhirnya ia jatuh sakit. Menurut diagnosa medis ia menderita Leukemia pada stadium lanjut. Ini terjadi pada tahun 1991. Saat ia berusia 35 tahun, Anand telah menghadapi ancaman kematian di depan matanya.

Setelah berbulan-bulan menderita, secara misterius ia bertemu dengan seorang Lama Tibet di pegunungan Himalaya dan secara ajaib sembuh dari penyakitnya. Kemudian Anand memutuskan untuk membaktikan seluruh hidupnya guna berbagi kebahagiaan, kedamaian, kasih dan kesehatan holistik.

Penulis Produktif
Dalam 12 tahun terakhir, Anand Krishna telah berceramah pada jutaan orang lewat siaran televisi, dialog radio, pelatihan meditasi, penerbitan buku-buku, wawancara surat kabar dan pelbagai artikel koran, juga lewat pertemuan dan workshop rutin yang diadakan di Anand Ashram, Sunter dan Pusat Pelatihan One Earth, dua pusat pelatihan meditasi tersebut didirikan olehnya di Ibukota Indonesia, Jakarta dan yang satunya di daerah pegunungan yang sejuk di Bogor.

Sejak buku pertamanya terbit yakni pada 1997, hingga kini sudah ada lebih dari 114 judul buku yang telah dipublikasikan dan lebih dari setengah juta copy terjual laris di seluruh pelosok Indonesia. Angka tersebut membuktikan pribahasa yang mengatakan,”Setengah dari penduduk dunia ini tak tahu apa yang tengah terjadi di belahan bumi lainnya.”

Selain menulis buku, Anand Krishna juga secara rutin menulis untuk Harian Kompas, Harian Nasional Indonesia berbahasa Inggris The Jakarta Post, Harian Bali Times dan Harian Radar Bali. Artikel dan tulisan-tulisannya juga dimuat oleh media-media net internasional, seperti EzineArticles.com Expert Author, Commonground News, dll.

Hari Bhakti Bagimu Ibu Pertiwi
Sejak tahun 1991, Anand Krishna selalu menyelenggarakan acara-acara budaya yang menampilkan kesenian-kesenian daerah dan nasional Indonesia pada tanggal 1 September sebagai persembahan bagi negara Indonesia, yang disimbolisasikan dalam bentuk Ibu Pertiwi. Acara-acara ini digelar untuk selalu mengingatkan bangsa Indonesia akan ke-jati-diri-annya, ke-Indonesia-annya.

Sejak tanggal 1 September 2005, salah satu organisasi kebangsaan yang digagas oleh Anand Krishna, yakni National Integration Movement atau Gerakan Integrasi Nasional menggelar Simposium Kebangsaan Pertama, yang dibuka secara resmi oleh Menteri Pertahanan RI, Juwono Sudarsono, Gubernur Lemhanas Muladi, SH dan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso. Simposium Kebangsaan ini juga dihadiri oleh Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan tokoh nasional Siswono Yudohusodo.

Pada hari yang sama, Menhan Juwono Sudarsono memutuskan untuk mencanangkan tanggal 1 September sebagai Hari Bhakti Bagimu Ibu Pertiwi. Pencanangan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menumbuhkan kembali semangat persatuan dan cinta kepada Ibu Pertiwi, yang pada waktu itu mengalami kemerosotan akibat fanatisme kelompok yang berlebihan dan amat dibutuhkan untuk menghindari disintegrasi bangsa secara lebih luas, dan lebih dari itu ditujukan untuk membangkitkan kembali kejayaan Bangsa Indonesia dalam peradaban dunia.

Maka, sejak itu, tanggal 1 September, yang juga merupakan Hari Ulang Tahun Anand Krishna diperingati sebagai Hari Bhakti Bagimu Ibu Pertiwi sebagai perwujudan Bhakti dan Cinta anak-anak bangsa kepada Ibu Pertiwi. NIM atau National Integration Movement selalu memperingati tradisi peringatan Hari Bhakti Bagimu Ibu Pertiwi setiap tanggal 1 September [1]dengan mengadakan Simposium Kebangsaan di Bali (2006), Simposium Kebangsaan di Monas-Jakarta (2007), Konser Kebangsaan Bagi Ibu Pertiwi di Bali (2008), Gema Perdamaian – Cinta Ibu Pertiwi Antidot Terorisme di Ciawi (2009).

Pembicara pada Earth Dialogues 2008 Brazil
Di kota Belo Horizonte – Brazil berlangsung Earth Dialogues on Water Planet (Dialogos da Terra no Planeta Aqua) pada tanggal 26 – 28 Nopember 2008 [2]di mana Anand Krishna diundang selaku pembicara yang mempresentasikan kajian tentang Water Of Life, Wisdom of the Ancients – In Pursuit of the Indigenous Wisdom of Sundaland and South America to Save Out Planet, sebuah kajian spiritual tentang pentingnya Air bagi kehidupan manusia di planet bumi ini berdasarkan kearifan lokal budaya. Beberapa poin yang dipresentasikan beliau masuk dalam Minas Gerais Charter di penghujung acara ini. Salah satunya adalah : Agar supaya kita semua tidak melihat air sebagai sebuah komoditas tapi sebagai anugerah keindahan dari alam.
Ambassador of Parliament of the World’s Religion

Sejak Agustus 2009 lalu, Anand Krishna bersama Maya Safira Muchtar diangkat secara resmi sebagai Ambassador dari Indonesia pada forum Parliament of the World’s Religions.[3] Mereka hadir sebagai pembicara pada forum ini yang pada tahun 2009 ini berlangsung di kota Melbourne, Australia dari tanggal 3-9 Desember 2009 ini, memaparkan tema “Mengapresiasi dan Membudayakan Bhinneka Tunggal Ika (Persatuan dalam Keragaman) dan Pancasila untuk Mengatasi Radikalisme Agama di Indonesia”.

====
Dien Novita
POSTED ON FEBRUARI 21, 2011

Dien Novita adalah lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada tahun 1976, dan sempat pula melanjutkan ke program S-2.Nama Dien pertama kali mencuat di dunia perfilman Indonesia lewat film Djembatan Emas (1971). Selama kariernya sebagai bintang film, Dien telah menghasilkan sekitar 26 buah film.
Stroke dan kematian

Sekitar lima tahun yang lalu Dien Novita terserang stroke. Pada 13 Desember 2004 Dien pernah pingsan dan terserang stroke pula beberapa saat menjelang acara silaturahmi peserta dan pemenang Festival Film Indonesia 2004 dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara.

Pada hari Sabtu 17 Maret itu pun ia kembali mengalami stroke sehingga pingsan. Ia dilarikan ke Rumah Sakit Harum di Kalimalang, Jakarta Timur. Namun kondisinya tidak juga membaik, dan oleh keluarganya ia segera dibawa ke RS St. Carolus, Jakarta Pusat, dan di sana ia menghembuskan napasnya yang terakhir.

Jenazahnya dimakamkan di TPU Pondok Kelapa, Jakarta Timur.

Keluarga
Dien Novita menikah dengan Bambang Hermanto, juga seorang aktor terkemuka Indonesia yang telah mendahuluinya pada 1991. Dien meninggalkan dua orang anak, yaitu Lucia Syuri Kartini dan Engelbertus Bayu Putra. Seorang adiknya yang juga dikenal sebagai bintang film adalah Tanti Yosepha, yang juga telah mendahuluinya.
[sunting] Kegiatan lain

Dien yang telah beberapa kali diserang stroke dan belum sembuh total, tetap berusaha aktif di dalam maupun di luar dunia peran. Ia pernah menjabat sebagai salah seorang ketua Kerukunan Usahawan Kecil dan Menengah Indonesia (KUKMI), wakil sekretaris jenderal Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI), dan wakil ketua Departemen Perkuatan Status Kelembagaan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN).

Setelah anak sulungnya terlibat dalam penyalahgunaan obat terlarang, Dien merasa terpanggil untuk membantu orang-orang muda yang terlibat dalam masalah tersebut. Bersama KH Zainuddin MZ, pada tahun 1998 ia mendirikan Yayasan Sumber Abdi Daya Cipta yang bertujuan mendidik anak-anak dengan berbagai macam kegiatan untuk mengalihkan perhatian mereka dari penggunaan obat-obatan terlarang.

===
Pelukis Amos Setyo Budiono
POSTED ON FEBRUARI 21, 2011

Amos Setyo Budiono atau biasa dikenal dengan AS Budiono (lahir di Solo, Jawa Tengah, 14 Juli 1932 – wafat tahun 2008) adalah seorang pelukis Indonesia  asal Solo. Ia mulai belajar melukis sejak kecil secara otodidak dan mulai banyak belajar teknik melukis setelah menjadi anggota Himpunan Budaya Surakarta (HBS). Orangtuanya adalah pedagang kecil dengan modal terbatas sehingga tidak bisa menunjang pendidikannya. Namun hal ini tidak menyurutkan niatnya menekuni seni lukis. Ia mulai menjual hasil karyanya untuk menunjang pendidikan dan sebagian disisihkan untuk orang tuanya.

Keseriusan belajar melukis secara otodidak membuatnya Oom Tjong, demikian Ia biasa dipanggil, diterima menjadi mahasiswa luar biasa di Akademi Kesenian Surakarta walaupun saat itu tidak memiliki ijazah formal karena minimnya pendidikan. Ia kemudian belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Pergaulannya dengan rekan-rekan ASRI mendorong hasratnya mengenal seni rupa modern.

Beberapa karyanya telah dikoleksi tokoh-tokoh penting, seperti Arifin C. Noer, Darmawan Munaf, dan Alwi Shahab. Harga lukisan yang ditawarkanya relatif karena imbalan untuk goresan catnya di atas kanvas diserahkan kepada mereka yang ingin membelinya. Jika dibandingkan seniman beken lainnya, mungkin Oom Tjong tidak terlalu istimewa. Namun jika melihat latar belakangnya, prestasinya patut diacungi jempol.
===

Daryatmo
POSTED ON FEBRUARI 21, 2011

Daryatmo, juga dieja Darjatmo (lahir di Solo, Jawa Tengah, 18 Juni 1925; umur 85 tahun) adalah tokoh militer Indonesia dan Ketua DPR/MPR periode 1978-1982.
Daryatmo memperoleh pendidikan kemiliteran di SSKAD, dan kemudian pendidikan militer lanjutan di luar negeri pada US Command and General Staff College, Fort Leavenworth, Amerika Serikat, dan pendidikan pada Suslapa, Seskoad di Bandung.

Sebagai Kepala Staf Operasi 17 Agustus, Daryatmo memimpin penumpasan pemberontakan PRRI di Sumatra sebagai bawahan Jenderal Ahmad Yani. Tahun 1978, Daryatmo menjadi Ketua DPR/MPR menggantikan Adam Malik, yang menjadi Wakil Presiden. Ia merupakan orang pertama dari ABRI yang menjabat Ketua DPR/MPR. Bersama Prof Sarbini Sumawinata, Daryatmo juga pernah memimpin seminar AD di Bandung, yang melahirkan Doktrin AD Tri Ubaya Sakti.

Berbagai jabatan militer yang pernah dipegangnya adalah Komandan Kompi BKR, Kepala Bagian Siasat BKR, Komandan Batalyon 4 Resimen 22, Komandan Batalyon 7 Resimen 21 di Yogyakarta, Kepala Staf Resimen Intantri/Subter 12, Komandan Resimen Infantri/Subter 13 pada TT-IV, Kepala Staf Operasi 17 Agustus di Sumatra (1958-1959), Dir-Hub TNI AD (1959-1963), Pangdam II/Bukit Barisan (1963-1965), Asisten VI Menpangad dan Deputi Khusus Menpangad (1965-1968), Kaskar Hankam (1969). Daryatmo memasuki masa persiapan pensiun tahun 1980 dengan pangkat Jenderal penuh.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat ke-7
Masa jabatan
1978–1982
Presiden     Soeharto
Pendahulu     Adam Malik
Pengganti     Amir Machmud
Lahir     18 Juni 1925 (umur 85)
Bendera Indonesia Solo, Jawa Tengah, Indonesia
Agama     Islam


===
Basoeki Abdullah
POSTED ON FEBRUARI 21, 2011

Basoeki Abdullah (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 25 Januari 1915 – meninggal 5 November 1993 pada umur 78 tahun) adalah salah seorang maestro pelukis Indonesia. Ia dikenal sebagai pelukis aliran realis dan naturalis. Ia pernah diangkat menjadi pelukis resmi Istana Merdeka Jakarta dan karya-karyanya menghiasi istana-istana negara dan kepresidenan Indonesia, disamping menjadi barang koleksi dari berbagai penjuru dunia.
Daftar isi
* 1 Masa muda
* 2 Aktivitas
* 3 Kehidupan Pribadi
* 4 Pranala luar

Masa muda

Bakat melukisnya terwarisi dari ayahnya Abdullah Suryosubro yang juga seorang pelukis dan penari. Sedangkan kakeknya adalah seorang tokoh Pergerakan Kebangkitan Nasional Indonesia pada awal tahun 1900-an yaitu Doktor Wahidin Sudirohusodo. Sejak umur 4 tahun Basoeki Abdullah mulai gemar melukis beberapa tokoh terkenal diantaranya Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore, Yesus Kristus dan Krishnamurti.

Pendidikan formal Basoeki Abdullah diperoleh di HIS Katolik dan Mulo Katolik di Solo. Berkat bantuan Pastur Koch SJ, Basoeki Abdullah pada tahun 1933 memperoleh beasiswa untuk belajar di Akademik Seni Rupa (Academie Voor Beeldende Kunsten) di Den Haag, Belanda, dan menyelesaikan studinya dalam waktu 3 tahun dengan meraih penghargaan Sertifikat Royal International of Art (RIA).
[sunting] Aktivitas
Lukisan “Kakak dan Adik” karya Basoeki Abdullah (1978). Kini disimpan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.

Pada masa Pemerintahan Jepang, Basoeki Abdullah bergabung dalam Gerakan Poetra atau Pusat Tenaga Rakyat yang dibentuk pada tanggal 19 Maret 1943. Di dalam Gerakan Poetra ini Basoeki Abdullah mendapat tugas mengajar seni lukis. Murid-muridnya antara lain Kusnadi (pelukis dan kritikus seni rupa Indonesia) dan Zaini (pelukis impresionisme). Selain organisasi Poetra, Basoeki Abdullah juga aktif dalam Keimin Bunka Sidhosjo (sebuah Pusat Kebudayaan milik pemerintah Jepang) bersama-sama Affandi, S.Sudjoyono, Otto Djaya dan Basoeki Resobawo.

Di masa revolusi Bosoeki Abdullah tidak berada di tanah air yang sampai sekarang belum jelas apa yang melatarbelakangi hal tersebut. Jelasnya pada tanggal 6 September 1948 bertempat di Belanda Amsterdam sewaktu penobatan Ratu Yuliana dimana diadakan sayembara melukis, Basoeki Abdullah berhasil mengalahkan 87 pelukis Eropa dan berhasil keluar sebagai pemenang.
Lukisan “Balinese Beauty” karya Basoeki Abdullah yang terjual di tempat pelelangan Christie’s di Singapura pada tahun 1996.

Sejak itu pula dunia mulai mengenal Basoeki Abdullah, putera Indonesia yang mengharumkan nama Indonesia. Selama di negeri Belanda Basoeki Abdullah sering kali berkeliling Eropa dan berkesempatan pula memperdalam seni lukis dengan menjelajahi Italia dan Perancis dimana banyak bermukim para pelukis dengan reputasi dunia.

Basoeki Abdullah terkenal sebagai seorang pelukis potret, terutama melukis wanita-wanita cantik, keluarga kerajaan dan kepala negara yang cenderung mempercantik atau memperindah seseorang ketimbang wajah aslinya. Selain sebagai pelukis potret yang ulung, diapun melukis pemandangan alam, fauna, flora, tema-tema perjuangan, pembangunan dan sebagainya.

Basoeki Abdullah banyak mengadakan pameran tunggal baik di dalam negeri maupun di luar negeri, antara lain karyanya pernah dipamerkan di Bangkok (Thailand), Malaysia, Jepang, Belanda, Inggris, Portugal dan negara-negara lain. Lebih kurang 22 negara yang memiliki karya lukisan Basoeki Abdullah. Hampir sebagian hidupnya dihabiskan di luar negeri diantaranya beberapa tahun menetap di Thailand dan diangkat sebagai pelukis Istana Merdeka dan sejak tahun 1974 Basoeki Abdullah menetap di Jakarta.
[sunting] Kehidupan Pribadi

Basoeki Abdullah selain seorang pelukis juga pandai menari dan sering tampil dengan tarian wayang orang sebagai Rahwana atau Hanoman. Ia tidak hanya menguasai soal kewayangan, budaya Jawa di mana ia berasal tetapi juga menggemari komposisi-kompasisi Franz Schubert, Beethoven dan Paganini, dengan demikian wawasannya sebagai seniman luas dan tidak Jawasentris.

Basoeki Abdullah menikah empat kali. Istri pertamanya Yoshepin (orang Belanda) tetapi kemudian berpisah, mempunyai anak bernama Saraswati. Kemudian menikah lagi dengan Maya Michel (berpisah) dan So Mwang Noi (bepisah pula). Terakhir menikah dengan Nataya Narerat sampai akhir hayatnya dan mempunyai anak Cicilia Sidhawati

Basoeki Abdullah tewas dibunuh perampok di rumah kediamannya pada tanggal 5 November 1993. Jenasahnya dimakamkan di Desa Mlati, Sleman, Yogyakarta.

===
Basuki (pelawak)
POSTED ON FEBRUARI 21, 2011

Agus Basuki Bin Suwito Hadiwiryono (lebih dikenal sebagai Basuki; lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 5 Maret 1956 – meninggal di Jakarta, 12 Desember 2007 pada umur 51 tahun) adalah seorang pelawak Indonesia. Ia melewati masa kecilnya di Semarang. Ayahnya adalah Pete alias Suwito, seorang mantan anggota Srimulat.

Pete dan Basuki memang serupa tapi tak sama. Yang satu bapak, satunya anak. Uniknya, dalam kancah wayang orang yang pada awalnya mereka libati, khususnya Wayang Orang (W.O.) Sri Wanito Semarang, keduanya sama-sama sering mendapat peran sebagai anggota punakawan Gareng.

Keserupaan yang lain, sudah pasti adalah keterampilan tari mereka. Ditambah dengan keluwesan ibu Basuki yang penari di Sriwedari Surakarta, sehingga karena pintar menari sejak kecil, Basuki pun jadi punya tubuh lentur yang salah satunya ditampilkan dengan tambahan narasi “Wes-ewes-ewes” iklan salah satu perusahaan jamu.

Basuki mengidolakan bapaknya sendiri dan almarhum Benyamin S.

Usai berkarier di W.O. Sri Wanito, Basuki mencoba ikutan di Srimulat. Melalui proses penyesuaian dan belajar beberapa lama, akhirnya ia diterima di Srimulat. Maka, mulai 1981 – 1986 Basuki pun mengembangkan karier di gudang para pelawak itu.

Setelah keluar dari Srimulat ia pernah membentuk grup Merdeka bersama Kadir, Timbul, Nurbuat, dan Rohana yang tidak bertahan lama. Tiga orang yang tertinggal yaitu Basuki, Kadir, dan Timbul lalu membangun Batik Grup yang ternyata juga hanya bertahan 3 tahun.

Di tahun 1992, Tino Karno menyampaikan tawaran Rano Karno pada Basuki untuk mendukung serial Si Doel Anak Sekolahan sebagai tokoh bernama Karyo. Berawal sebagai bintang tamu hanya untuk 2 atau 3 episode dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan I, akhirnya pada Si Doel III dan IV ia dipercaya sebagai pemain tetap.

Basuki meninggal dunia pada tanggal 12 Desember 2007 saat bermain futsal dengan teman-temannya

Nama lahir     Agus Basuki Bin Suwito Hadiwiryono
Lahir     5 Maret 1956
Meninggal     12 Desember 2007 (umur 51)
Bendera Indonesia Jakarta, Indonesia
Pekerjaan     Aktor, pelawak
Tahun aktif     1981 – 2007
Orang tua     Suwito Hadiwiryono

===

Arswendo Atmowiloto
POSTED ON FEBRUARI 21, 2011

Arswendo Atmowiloto (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 November 1948; umur 62 tahun) adalah penulis dan wartawan Indonesia yang aktif di berbagai majalah dan surat kabar seperti Hai dan KOMPAS. Mempunyai nama asli Sarwendo. Nama itu diubahnya menjadi Arswendo karena dianggapnya kurang komersial dan ngepop. Lalu di belakang namanya itu ditambahkannyalah nama ayahnya, Atmowiloto, sehingga namanya menjadi apa yang dikenal luas sekarang.

Kehidupan pribadi
Di tahun 1990, ketika menjabat sebagai pemimpin redaksi tabloid Monitor, ia ditahan dan dipenjara karena satu jajak pendapat. Ketika itu, Tabloid Monitor memuat hasil jajak pendapat tentang siapa yang menjadi tokoh pembaca. Arswendo terpilih menjadi tokoh nomor 10, satu tingkat di atas Nabi Muhammad SAW (Nabi umat Muslim) yang terpilih menjadi tokoh nomor 11. Sebagian masyarakat Muslim marah dan terjadi keresahan di tengah masyarakat. Arswendo kemudian diproses secara hukum sampai divonis hukuman 5 tahun penjara.

Selama dalam tahanan, Arswendo menghasilkan tujuh buah novel, puluhan artikel, tiga naskah skenario dan sejumlah cerita bersambung. Sebagian dikirimkannya ke berbagai surat kabar, seperti KOMPAS, Suara Pembaruan, dan Media Indonesia. Semuanya dengan menggunakan alamat dan identitas palsu.

Untuk cerita bersambungnya, “Sudesi” (Sukses dengan Satu Istri), di harian “Kompas”, ia menggunakan nama “Sukmo Sasmito”. Untuk “Auk” yang dimuat di “Suara Pembaruan” ia memakai nama “Lani Biki”, kependekan dari Laki Bini Bini Laki, nama iseng ia pungut sekenanya. Nama-nama lain pernah dipakainya adalah “Said Saat” dan “B.M.D Harahap”.

Setelah menjalani hukuman 5 tahun ia dibebaskan dan kemudian kembali ke profesi lamanya. Ia menemui Sudwikatmono yang menerbitkan tabloid Bintang Indonesia yang sedang kembang-kempis. Di tangannya, Arswendo berhasil menghidupkan tabloid itu. Namun Arswendo hanya bertahan tiga tahun di situ, karena ia kemudian mendirikan perusahaannya sendiri, PT Atmo Bismo Sangotrah, yang memayungi sedikitnya tiga media cetak: tabloid anak Bianglala, Ina (kemudian jadi Ino), serta tabloid Pro-TV. Saat ini selain masih aktif menulis ia juga memiliki sebuah rumah produksi sinetron.

Kakaknya, Satmowi Atmowiloto, adalah seorang kartunis.
===


Abadi Soesman
POSTED ON FEBRUARI 21, 2011

Abadi Soesman (lahir di Surakarta, 3 Januari 1949; umur 62 tahun) adalah musisi dan pencipta lagu Indonesia. Abadi mendapat jukukan sebagai pemusik serba bisa. Julukan ini sesuai, karena Abadi terampil bermain gitar, piano hingga synthesizers ini mampu pula bermain musik pop, rock, blues, dangdut hingga jazz. Semasa muda datang ke Jakarta bersama dengan Ian Antono untuk dapat menyalurkan hasrat bermain musik.
Masa kecil
Karier musiknya diawali saat membentuk band bocah bersama dengan saudara-saudaranya serta sahabatnya di Malang pada tahun 1959 dengan nama Irama Abadi. Ian Antono yang memainkan bongo. Saat itu, mereka lebih banyak memainkan musik Latin dan Minang seperti yang mereka simak dalam album kelompok Gumarang yang tengah populer. Kegiatan bermusik Abadi dan saudara-saudaranya, didukung oleh ayahnya, dr. Soesman Soemosoesastro yang menjabat Kepala Rumah Sakit Tentara (RST) Malang. Abadi memang berasal dari keluarga pemusik. Ayahnya piawai menggesek dawai biola dan sang ibu Etty Soedirman memainkan piano. Kemampuan bermain piano klasik diperoleh Abadi dari sang ibu. Dilanjutkan dengan berguru piano klasik pada Van Rommer di tahun 1956 dan dasar piano jazz pada Liem Khok Wha di tahun 1959.

Walau memiliki dasar musik jazz dan klasik, Abadi lebih tertarik dengan rock and roll, seperti grup band The Shadows dan The Ventures. Puncaknya adalah saat demam The Beatles melanda dunia.

Hijrah ke Jakarta
Tahun 1970, Abadi memutuskan hijrah ke Jakarta. Dia melamar sebagai home band  di Tropicana, sebuah klub malam ternama Jakarta, namun tak diterima. Kesempatan datang saat keyboard band The Discn, Andyono Arie sakit dan Abadi menjadi pemain pengganti. Setelah itu, Abadi direkrut sebagai pemain keyboard band pengiring ternama Jakarta, The Pro’s yang dibentuk Dimas Wahab, mengisi posisi Broery Marantika  yang ingin berkonsentrasi sebagai penyanyi. The Pro’s lalu bertolak ke Amerika Serikat bermain sebagai home band di Restauran Ramayana, yang terletak di New York City.

Bersama Guruh Gipsy
Pertengahan dasawarsa 1970-an, Abadi Soesman kembali ke Jakarta. Dia lalu bergabung dengan band Gipsy yang didukung Keenan Nasution (drums) dan Chrisye (bass). Saat itu Gipsy bersama Guruh Soekarno Putra tengah berencana membuat proyek musik eksperimen menggabungkan musik rock progressive dan gamelan Bali. Proyek itu berlanjut dengan terbentuknya Guruh Gipsy dengan formasi Guruh Soekarno Putra (gamelan, piano, komposer), Keenan Nasution (drum, vokal), Chrisye (bass, vokal), Oding Nasution (gitar), Roni Harahap (keyboards), dan Abadi Soesman (synthesizers).

Bermusik Jack Lesmana
Meski sibuk di Guruh Gipsy, Abadi masih tak melupakan jazz. Dia bergabung dengan komunitas Jack Lesmana bersama sederet pemusik jazz lainnya seperti Oele Pattiselanno, Benny Likumahuwa, Jopie Item, Karim Suweilleh, dan Bubi Chen. Tak hanya di panggung, Abadi juga mendukung sejumlah album jazz Jack Lesmana.

Bersama The Eternals
badi sempat membentuk band sendiri yang bernama The Eternals. Ia pun menulis sederet lagu, antara lain “Kasihmu Kasihku”, yang menjadi hits.

Bermain bersama God Bless
Tahun 1979 Abadi Soesman diajak Ian Antono bergabung dalam God Bless. Setahun kemudian, kelincahannya memainkan tuts piano terlihat saar God Bless merilis album Cermin  (1980). Ketrampilannya menggabungkan rock dan gamelan Bali pada album Guruh Gipsy diterapkannya pada lagu “Anak Adam” pada album God Bless tersebut.

Dangdut

Awal tahun 1980, Abadi Soesman diajak Reynold Panggabean bergabung dalam kelompok dangdut Tarantulla dalam bentuk album rekaman. Muchsin Alatas juga mengajak Abadi Soesman bereksperimen menggabungkan dangdut, reggae, dan jazz rock dalam album bertajuk 5 LU – 12 LS.

Bersama Bharata Band

Nama Abadi makin berkibar saat bergabung dengan “The Beatles Indonesia”, Bharata Band sebagai gitaris pada tahun 1984. Grup musik yang didukung pula oleh Tato Bharata (vokal, gitar), Harry Bharata (vokal, bass), dan Jelly Tobing (drums) ini memainkan lagu-lagu The Beatles dan sempat merilis sebuah album Kawula Muda (1988)

Tahun 1986, pria yang kini berambut gondrong itu mulai bermain di area musik lawas. Lagu-lagu Bee Gees, Beatles, The Shadows, atau penyanyi kondang era 1950 – 1960-an seperti Everly Brothers, Pat Boone, Jim Reeves, Nat “King” Cole, Tom Jones, sampai The Cats selalu didendangkan. Termasuk lagu-lagu soul dan funk milik James Brown dan Cool and The Gang.

Kehidupan pribadi

Abadi menikah dengan Ririe teman sekolahnya di Malang pada tahun 1978.
===

Syamsuddin Jusuf Souib Hobi Pelesir Antarkan Keliling Dunia
POSTED ON FEBRUARI 21, 2011

Bisa berkeliling dunia sudah barang tentu merupakan impian banyak orang. Apalagi jika kepergiannya itu tanpa sedikit pun mengeluarkan biaya alias gratis. Hal itulah kiranya yang dialami Syamsuddin Jusuf Souib, General Manager Garuda Indonesia Solo.
Syamsuddin, begitu akrab disapa, adalah sosok yang bisa dibilang beruntung. Bagaimana tidak, hobinya yang gemar traveling akhirnya kesampaian setelah resmi bergabung sebagai karyawan di perusahaan BUMN sekelas Garuda Indonesia.

Dalam kesempatan berbincang-bincang dengan Joglosemar, Syamsuddin bercerita panjang lebar perihal kesuksesan yang sudah diraihnya sekarang. Butuh perjuangan keras dan panjang untuk meraih impiannya itu.

“Ceritanya panjang. Sejak saya bergabung di Garuda Indonesia pertengahan tahun 1989 lalu, perusahaan menyediakan tiket gratis ke luar negeri. Karena hobi dan waktu itu saya masih bujang, menjadi pengalaman yang tak terlupakan saat menginjakkan kaki pertama kali di Negara Amerika,” kata Syamsuddin.

Untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya itu memang tidaklah mudah. Usai lulus kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada tahun 1988, Syamsuddin akhirnya menjatuhkan pilihan bekerja di perusahaan Garuda Indonesia di tempat kelahirannya, Jakarta.

Awalnya Syamsuddin sempat pesimis saat pertama kali melamar di perusahaan milik pemerintah itu. Bayangkan, dari 750-an pelamar, perusahaan Garuda Indonesia hanya membutuhkan enam orang saja. “Namun dengan penuh keyakinan, tes yang cukup melelahkan akhirnya saya lewati. Dan puji syukur, Alhamdulillah saya diterima,” tutur suami dari Yeni Martini.

Genap satu tahun bergabung di Garuda Indonesia cabang Jakarta dan mengikuti pendidikan selama enam bulan, ia lantas dipindahtugaskan ke Surabaya sebagai sales representative. Di Kota Pahlawan, Syamsuddin mulai mengukir kariernya. Karena merasa cocok dengan pekerjaan yang digeluti, peraih predikat siswa terbaik selama proses pendidikan itu mulai menunjukkan taringnya.

Dikatakannya, selama hampir lima tahun berada di Surabaya, kinerjanya selalu mendapat respons positif dari perusahaan. Kemudian tidak berselang lama, bapak tiga anak ini lantas ditunjuk untuk menjabat sebagai Kepala Kantor Garuda Indonesia cabang Malang, Jawa Timur selama hampir tiga tahun.

“Sejak bertugas di Surabaya, dinas saya selalu berpindah-pindah. Mulai dari Malang, Singapura, Jepang, hingga ke China. Meski awalnya untuk keperluan dinas, namun semenjak menikah 10 Maret 1996 lalu, sang istri acapkali menemani saya ke mana pun pergi,” imbuh Syamsuddin tersenyum.  n Bonus Wibowo Bramhartyo

Bantu Promosikan Pariwisata Solo

Sejak pindah tugas di Solo awal tahun 2009 yang lalu, Syamsuddin Jusuf Souib memang betah berlama-lama di Kota Bengawan ini. Selain suasana lingkungan yang adem, suasana perbisnisannya pun cukup kompetitif. Hal ini yang membuatnya makin tertantang untuk bersaing secara sehat dengan perusahaan maskapai penerbangan yang ada.

“Di antara daerah lain yang pernah saya kunjungi, Kota Solo adalah daerah yang suasana bisnisnya paling kondusif. Artinya, persaingan bisnisnya terasa kental, tentunya ini memacu saya dan perusahaan untuk lebih meningkatkan kualitas kepada konsumen,” ujarnya.
Sehingga konsentrasi tingkat tinggi dalam menghadapi aura bisnis yang penuh persaingan ini meski dilakukan agar tidak berakibat fatal. Peran Pemkot Solo dalam hal ini menurutnya juga cukup mendukung.

“Menyimak dan mengikuti alur bisnis di Kota Solo membutuhkan tingkat konsentrasi yang sangat tinggi. Jika tidak, sedikit saja lengah bisa berakibat buruk bagi perusahaan. Untuk itu, beragam pelayanan terbaik kami usahakan demi kemajuan bersama,” imbuh Syamsuddin.

Sementara itu, ketertarikan Syamsuddin akan Kota Bengawan juga terlihat lewat curahan perhatiannya pada dunia pariwisata. Diakuinya, sejak bertugas di Solo dua tahun lalu, ia turut aktif membantu Pemkot Solo dalam mempromosikan pariwisata dan budaya lokal.
“Saya ingin bersama-sama dengan masyarakat dan Pemkot Solo mempromosikan bidang pariwisata. Ini salah satu bentuk kepedulian saya untuk kota yang sudah banyak memberi pelajaran berharga tentang dunia bisnis,” terang Syamsuddin.  n
Bonus Wibowo Bramhartyo

Bercita-cita Masuk Akabri namun Gagal

Posisi sebagai General Manager Garuda Indonesia Solo saat ini, memang bukan cita-cita Syamsuddin Jusuf Souib sewaktu kecil. Semasa kecil ternyata Syamsuddin sangat ingin mendaftar di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) dan gabung menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Bahkan Syamsuddin menyebut, menjadi prajurit TNI adalah cita-citanya sejak masih di dalam kandungan. Sehingga suatu ketika untuk mewujudkan cita-citanya, dia bersama rekan-rekannya nekat mendaftarkan diri di Akabri Magelang, Jawa Tengah.
“Setelah lulus SMA, saya bersama teman-teman satu angkatan pergi ke Magelang untuk daftar Akabri, tanpa pamit kedua orangtua. Namun sayang, setelah beberapa kali lolos seleksi, saat tes pantokir saya justru gagal,” sesalnya.

Diakui Syamsuddin, kegagalannya kala itu sempat membuatnya frustrasi. Sempat terpikir olehnya, kegagalan ini gara-gara tidak mendapat restu dari kedua orangtuanya. Bahkan kejengkelannya kala itu sempat ia tumpahkan bersama rekan-rekannya di Stasiun Tugu Yogyakarta dengan membuat onar.

“Ya harap maklum, saya dan teman-teman waktu itu kesal lantaran tak lolos di Akabri. Padahal, kurang beberapa langkah lagi kami bisa diterima. Mungkin karena waktu itu diberlakukan batas maksimal penerimaan anggota di tiap provinsi, akhirnya kami kalah bersaing,” ungkap Syamsuddin.

Akhirnya, dari kegagalan itu baru dia putuskan melanjutkan kuliah di UII Yogyakarta. Untuk menutupi rasa malunya karena gagal masuk Akabri, dia memutuskan untuk indekos di Kota Gudeg itu. Selama kurang lebih empat tahun, Syamsuddin bersama sejumlah rekannya akhirnya memantapkan diri menempuh bangku perkuliahan Fakultas Ekonomi.  n Bonus Wibowo Bramhartyo

Sekolahkan Anak hingga Jadi Pengacara

Dulu banyak orang yang menawari Harso Witono untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Saat itu memang untuk menjadi PNS sangatlah mudah, tidak seperti sekarang. Namun tawaran itu oleh Harso ditolaknya karena dilarang oleh orangtuanya.

“Entah dengan alasan apa, orangtua saya dulu melarang keras saya jadi PNS. Meski sempat kecewa, larangan tersebut lama kelamaan saya jadikan cambuk untuk belajar mandiri,” tuturnya.

Diungkapkan Harso, pepatah Jawa yang mengatakan rezeki, jodoh, dan mati adalah rahasia Tuhan memang benar adanya. Tatkala hati merasa sumpek memikirkan masa depan kelak, garis takdir senantiasa mengikuti bagaimana usaha dan doa yang manusia lakukan.
“Disiplin waktu, jujur, dan telaten adalah kuncinya. Dengan usaha dan doa sesuai keyakinan masing-masing, niscaya apa yang semula tak mungkin kita raih, akhirnya bisa kesampaian,” imbuhnya.

Puji syukur selalu ia panjatkan atas limpahan rezeki yang telah diperolehnya. Meski usaha yang ia geluti tak sedikit orang yang menganggap remeh, tapi Harso bangga bisa mengantarkan kesepuluh anak-anaknya menjadi orang yang mandiri. Mulai dari meneruskan usaha rongsoknya hingga salah satu anaknya menjadi seorang pengacara.n Bonus Wibowo Bramhartyo
===

Abdullah Faishol Menulis Buku Hingga Miliki Perpustakaan Pribadi
POSTED ON FEBRUARI 21, 2011

Kemahiran Abdullah Faishol dalam menghasilkan karya tulis ilmiah semakin dimatangkan dengan menulis beberapa judul buku. Salah satu judul buku karyanya adalah Membumikan Ajaran Islam Melalui Yasinan dan Tahlilan.
Melalui karya-karyanya itu, Faishol mencoba berdakwah Islam secara santun melalui tulisan, tanpa adanya paksaan dan kekerasan. Karyanya tersebut diharapkan bisa menjadi referensi dalam kehidupan dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas.

“Alhamdulillah, buku tentang pembumian Islam tersebut booming, dan kini hasil terbitannya tak tersisa lagi. Namun, saya berencana untuk mencetak lagi agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas,” ujar Faishol di kediamannya, Kranggan Kulon 54 RT 3/II Wirogunan, Kartasura, Sukoharjo.

Saking cintanya pada dunia tulis menulis, Faishol juga mempunyai perpustakaan pribadi. Koleksi-koleksi bukunya yang beragam diharapkan mampu memberikan inspirasi untuk terus berkarya. “Kita tahu, buku adalah jendela dunia. Sehingga dengan membaca buku, kita dapat mengetahui segalanya. Meskipun kini telah ada internet namun keberadaan buku akan tetap bermanfaat,” pungkas suami dari Munaworah ini.

Buku-buku koleksi pribadi Faishol itu juga untuk mendukung disertasinya, khususnya dalam bidang keagamaan. Sehingga perpustakaan pribadinya kian hari terus berkembang dengan terus bertambahnya koleksi bacaannya. “Saat ini buku koleksi saya memang masih belum tertata seperti perpustakaan pada umumnya. Namun secara perlahan akan terus saya kembangkan agar ke depannya dapat dimanfaatkan oleh orang lain,” tuturnya.

Menjadi Pengajar Adalah Cita-citanya Sejak Kecil

Sejak tahun 1994, Abdullah Faishol telah menetap di Solo setelah sebelumnya berdomisili di Yogyakarta. Selama 17 tahun di Solo, dirinya menjadi dosen di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Surakarta yang kini menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Surakarta.

Sebelum menjadi dosen, di Yogyakarta sejak tahun 1990, Faishol telah menjadi guru di Madrasah Tsanawiyah (MTs) PP Al Munawwir Krapyak, Yogyakarta, dan sempat menjadi kepala sekolah di Madrasah Aliyah (MA) PP Al Munawwir Krapyak, Yogyakarta.

Menjadi pengajar memang cita-cita Faishol sejak kecil. Sebab profesi itu dianggap sebagai wujud nyata pengabdian pada masyarakat. “Dengan menjadi guru saya dapat terus belajar dan berbagi ilmu, sehingga harus diusahakan agar cita-cita tersebut dapat tercapai. Alhasil, dengan segala usaha dan doa, profesi menjadi seorang pendidik dapat saya diraih,” pungkas Faishol sedikit tersenyum.

Dari keluarga sendiri, dukungan agar Faishol menjadi pendidik juga sangat kuat. Anak kesembilan dari 10 bersaudara ini juga sering mendapat motivasi agar cita-citanya menjadi guru tercapai.

Hasil Penelitian untuk Cegah Konflik Agama

Selama ini, penelitian yang dilakukan oleh beberapa pelaku akademik kerap hanya sebatas menghasilkan sebuah teori atau wacana. Namun itu tidak berlaku bagi Abdullah Faishol, sosok peneliti yang mampu mengaplikasikan karyanya di kehidupan nyata. Berprofesi sebagai dosen di STAIN Surakarta, hasil-hasil penelitiannya tentang sosial kemasyarakatan mampu digunakan sebagai “senjata” untuk mengabdi pada masyarakat.

Tak heran pula jika karya Faishol, kerap ia disapa, berjudul Kesadaran Pluralitas di Surakarta menjadi pemenang dalam Penelitian Terbaik Nasional Tahun 2008. Pada penelitian itu, dia menggunakan Participatory Action Research (PAR) atau melakukan penelitian dengan berinteraksi langsung dengan masyarakat. Sehingga hasil dari penelitian itu mampu diaplikasikan pada masyarakat Kota Solo.

Setelah sukses menjadi peneliti terbaik, kini Faishol dipercaya menjadi seorang trainer atau pelatih pada pelatihan penelitian di beberapa kota di Indonesia. Separuh lebih kota besar di Indonesia telah ia datangi dalam rangka memberikan pelatihan tentang penelitian masyarakat.

Saat berbincang dengan Joglosemar belum lama ini, Faishol mengaku butuh ketekunan dan pengamatan mendalam perihal kondisi masyarakat saat melakukan proses penelitian. Sehingga untuk meraih kesuksesannya itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

“Ketika melakukan penelitian harus mengetahui kebutuhan masyarakat sebenarnya dan tindak lanjutnya. Tidak hanya menghasilkan sebuah teori, namun harus bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Hasil penelitian tentang kesadaran pluralitas di Surakarta tahun 2008 silam sampai saat ini masih dimanfaatkan untuk mengelola sebuah pluralitas di kota budaya ini,” tutur Bapak empat anak ini.

Saat ini, Faishol bergabung dengan Komunitas Interaksi Solidaritas Antar Elemen Masyarakat (Insan Emas) Surakarta dalam rangka mengaplikasikan hasil penelitian, khususnya dalam mengelola pluralitas agama di daerah. Pihaknya kerap melakukan dialog dan menggelar kegiatan bersama dalam forum lintas agama.

“Melalui forum lintas agama, kerusuhan dan konflik antaragama dapat diantisipasi. Kita tahu, Solo adalah kota pluralis akan agama dan aliran. Sehingga harus ada upaya-upaya khusus dalam mencegah konflik, agar peristiwa Pandeglang, Temanggung, dan di kota-kota lain bisa dicegah,” pungkas Faishol yang menggemari olahraga badminton ini.

Dijelaskan Faishol, dalam mencegah konflik agama harus ada kesadaran pada tiap individu masyarakat yakni saling memahami, saling mengenal, dan berdialog. Melalui langkah-langkah tersebut, potensi konflik maupun kerusuhan bisa diminimalkan. “Sebuah konflik di masyarakat sebagian besar bukan murni dari masyarakat, namun karena diciptakan oleh oknum tertentu,” ujarnya.
===

Singgih Djuhartono Berawal dari berjualan obat keliling
POSTED ON FEBRUARI 21, 2011

Impian Singgih Djuhartono menjadi apoteker kandas. Sekolahnya dilikuidasi. Namun, peristiwa itu justru membuat semangatnya terjun di dunia farmasi semakin melecut.
Hasilnya terlihat kini.
Ia bekerja tak jauh-jauh dari kefarmasian: Menjadi pengusaha apotek dan pemimpin Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Solo. Bahkan ia menjangkau aras lainnya, menjadi advokat.“Kalau boleh dibilang profesi saya advokat, usaha apotek dan pengabdian masyarakat saya di PMS,” ungkapnya saat dijumpai Espos di ruang kerja berukuran sekitar 2 m x 3 m yang menyatu dengan Apotek Subur, Jl dr Muwardi 34, Solo, Rabu (9/2).
Seperti pembawaannya yang sederhana, ruang kerjanya ditata minimalis. Tak ada pernik-pernik mewah yang menghiasi meja kerja maupun dinding ruangan itu. Hanya sebuah laptop berwarna biru metalik di mejanya yang tampak mewah. “Latar belakang keluarga sederhana dan dari dusun. Sehingga saya tercipta jadi orang yang apa adanya. Kalau istilah kerennya ya low profile,” ujarnya berkelakar.

Nyaris tentara

Meskipun jatuh hati pada dunia kefarmasian, Singgih kecil sejatinya bercita-cita menjadi tentara. “Sejak TK saya ingin jadi tentara. Saya ingat, saat perpisahan, memakai baju doreng dan menyanyi lagu Aku seorang kapiten,” kenangnya.

Setamat SMA, tahun 1970, ia mengejar cita-citanya itu. Ia mendaftar Akabri. Singgih sukses melewati tahap demi tahap tes di Makodam Diponegoro, Semarang. Bahkan saat dikirim pelatihan di Lembang Bandung, ia bisa melewati rentetan tes tanpa kendala. “Namun Tuhan menghendaki lain. Pada saat apel terakhir setelah Pantukhirpus, dari Jateng dinyatakan tidak lulus dua calon taruna. Saya salah satunya,” kenangnya.

Gagal menggapai cita-cita tentara, anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Yasin Hadiwijaya dan Sugiharti yang bekerja sebagai pedagang sepeda angin ini terbesit kuliah di Jurusan Farmasi Universitas Atmajaya, Semarang. ”Baru menyelesaikan kuliah Tingkat I, sekolah dilikuidasi,” ujarnya sambil menunjukkan mimik kecewa.

Singgih lalu mencoba peruntungan lain, mendaftar di jurusan yang juga bertaut dengan farmasi: Kedokteran Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang. Lagi-lagi, baru menyelesaikan Tingkat I, ia kembali harus meninggalkan bangku kuliah. “Apa daya, Tuhan menghendaki lain, biaya tak memungkinkan, kondisi perekonomian waktu itu sulit, makanya tak mungkin sekolah, jadi harus kerja.”

Singgih banting setir. Orientasinya tak lagi kuliah, tapi bekerja. Ia pun melamar ke sejumlah perusahaan. Menurut Singgih, kala itu, pekerjaan sebagai medical representative sedang jadi trend. Tak ayal, ia pun melamar pekerjaan itu di sebuah perusahaan farmasi di Semarang. “Kalau sekarang istilah kerennya duta farmasi. Tapi ya bisa disebut seperti jualan obat keliling,” ungkapnya.

Pujaan hati

Menjadi medical representative menuntut Singgih berkeliling berbagai kota menawarkan produk dari perusahaannya. Padahal, kisah Singgih, kala itu alat transportasi belum sebanyak sekarang. Maka tak jarang ia harus berjalan berkilometer-kilometer saat tak ada angkutan umum yang lewat. “Suka dukanya banyak. Ada kalanya saat promosi, kita diterima dengan baik, tapi adakalanya diusir juga. Hikmahnya, saya lebih bersemangat,” ujarnya.

Terlebih lagi, kata Singggih, dari pekerjaan itulah ia menemukan pujaan hati, Yeni Kristiani —yang sama-sama bekerja sebagai medical representative— kala memromosikan obat di Rumah Sakit dr Oen, Kandang Sapi, Solo. “Walaupun di Semarang saya punya banyak teman perempuan, tapi gadis yang saya temui di Solo ini punya daya magnet tersendiri. Akhirnya, saya dapat mempersunting tahun 1981,” ungkapnya.

Sejak menikah itulah, Singgih memilih tinggal di Solo. Apalagi ia melihat peluang bisnis obat di Solo cerah. Alhasil tak lama setelah menikah, ia membuka toko obat. “Karena waktu itu dananya masih terbatas, belum bisa buka apotek,” ujarnya.

Terlebih, kata Singgih, perlengkapan perizinan membuka apotek tidak seperti toko biasa. Karena selain melengkapi persyaratan layaknya membuka usaha, juga harus mempunyai tenaga teknik kefarmasian sebagai penanggung jawab.

Namun, menurut lelaki berusia 57 tahun itu, rupanya kebutuhan masyarakat akan obat-obatan saat itu terus meningkat. Padahal, toko obat hanya bisa menjual obat bebas dan bebas terbatas. Sehingga pada tahun 1985, Singgih meningkatkan status toko obatnya menjadi apotek. “Awal buka Apotek Subur di Nusukan. Kami kembangkan lagi Apotek Jati Waluya tahun 1993 di Kottabarat. Kami kembangkan lagi 2003, Apotek Gajahan. Namun rencana Tuhan berbeda, baru saja, 2010, Apotek Gajahan dilepas untuk biaya perawatan istri di Singapura,” ujarnya.

Biodata

Nama : Singgih Djuhartono SH

Alamat : Jl Kapten Tendean 135, Nusukan, Solo

Lahir : Blora, 2 April 1953

Istri : Yeni Kristiani (Alm)

Anak : Willy Cahyono

Rony Wijaya

Pendidikan :

* SD Negeri 1 Randu Belatung, Blora (lulus 1964)

* SMP Katolik Blora (lulus 1968)

* SMA Theresiana Semarang (lulus 1970)

* Fakultas Hukum Jurusan Ilmu Hukum

Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo (lulus 1993)

* Pendidikan Profesi Advokat

Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo (lulus 1997)

Organisasi :

* Ketua Bidang Toko Obat

Gabungan Pengusaha Farmasi Solo(1987-1993)

* Bagian Kesejahteraan Masyarakat

LKMD Kelurahan Nusukan (1998-2003)

* Pengawas

Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) 2000-sekarang

* Ketua Gabungan Pengusaha Farmasi Solo (2009-2014)

* Bendahara RT3/RW III Prawit, Nusukan

Sumber: Wawancara fey – Oleh : Fetty Permatasari

Jadi advokat bak menyalurkan hobi

Suaranya bergetar, lalu sejenak ia menatap langit-langit. Singgih Djuhartono mengisahkan upaya pengobatan penyakit terhadap istri tercinta hingga Singapura.

“Rencana Tuhan tidak bisa diketahui manusia. Pada 1 September 2010, ia meninggalkan kita,” ujarnya.

Kepergian sang istri menjadi pukulan berat bagi Singgih. Terlebih lagi jika mengingat pertemuan pertama dengan sang istri saat sama-sama masih menjadi medical representative. Namun, ia tak mau larut dalam duka. Apalagi ia terlibat sejumlah kegiatan sosial yang butuh perhatian.

“Sejak 1997, advokat jadi side job. Karena saya bisa di bidang hukum, saya menolong di bidang itu. Bidang advokasi banyak fungsi sosialnya. Jadi meskipun banyak nombok-nya, tidak masalah. Itu dianggap hobi. Hobi untuk menolong orang lain,” paparnya.

Menurut Singgih, kasus yang cukup banyak ia tangani adalah sengketa tanah di kalangan masyarakat akar rumput. “Bersyukur, biasanya setelah saya pelajari segala sesuatunya lalu diproses, umumnya bisa berhasil,” ungkapnya.

Selain soal sengketa tanah, Singgih juga kerap menangani kasus yang berkaitan dengan dunia farmasi. Kasus yang paling umum ditangani Singgih adalah pelanggaran dari toko obat yang menjual obat keras. “Namanya farmasi ada aturan mainnya. Seringnya pelanggaran itu dan pernah pula kasus Narkoba tahun 2000 yang menyeret mahasiswa kedokteran. Dan waktu itu kasus Narkoba sedang jadi sorotan betul seluruh instansi pemerintah dan lembaga-lembaga sosial masyarakat,” ujarnya.

Meskipun terpikat dunia advokasi, namun Singgih muda rupanya lebih hobi olahraga. Mulai dari bela diri sampai tenis. Bahkan dua olahraga itu sampai membuat salah satu lututnya cedera. “Jadi kalau olahraga, sekarang yang boleh tinggal renang saja. Kalau membaca, saya lebih suka berita-berita aktual baik dari internet maupun majalah kefarmasian. Membaca majalah sekarang jadi hiburan malam,” ujarnya.

Fungsi sosial apotek tak boleh luntur

Persaingan usaha apotek semakin lama semakin ketat. Tak ayal, harga obat yang ditawarkan kepada konsumen antarapotek kian bersaing.

Sebagai pengusaha apotek, Singgih mengaku khawatir dengan fenomena semakin menjamurnya apotek itu. Dia khawatir fungsi sosial apotek akan kian luntur. Padahal, apotek tidak semata-mata bisnis belaka. Apotek juga tempat mengabdi apoteker melaksanakan profesi mereka.

“Jadi kalau sebagai tempat mengabdi, jelaslah kalau apotek tidak semata-mata mencari keuntungan belaka. Apotek tidak bersaing seperti toko-toko biasa. Apotek tempat pengabdian profesi. Sehingga dalam pengelolaan harus berhati-hati dan profesional,” ujarnya.

Terlebih, tambah Singgih, kini ada Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pelayanan Kefarmasian. “Dengan peraturan tersebut, apoteker dituntut berperan lebih aktif dalam pelayanan kefarmasian,” ujarnya.

Meskipun, lanjut Singgih, pengusaha apotek sekarang memang serba sulit. Lantaran semakin banyak apotek, omset yang diperoleh semakin kecil. Padahal biaya operasional terus melejit. “Boleh dibilang berdasarkan pengalaman saya sendiri omset dropping. Mulai terasa sejak bergulir Otonomi Daerah dan izin pendirian apotek dibebaskan. Terasa betul-betul sejak tahun 2005. Turunnya sampai 40 %,” papar dia.

Oleh karena itulah, Singgih berharap izin apotek bisa diperketat. Perlu deregulasi perizinan berdasarkan kepatutan, kelayakan serta rasio jumlah apotek sehingga batasan-batasan lingkungan, jumlah penduduk dan jarak antarapotek satu dengan yang lain menjadi pertimbangan saat akan dibuka apotek baru.

Selain itu, demi menertibkan jalur distribusi obat di Solo dan mencegah peredaran obat palsu, menurut Singgih, GP Farmasi juga mewacanakan agar pendirian apotek baru harus mendapatkan rekomendasi dari GP Farmasi setempat.

“Tapi kendalanya Dinas Kesehatan juga belum punya payung hukum untuk itu. Namun jika bisa terealisasi semua pengusaha farmasi bisa satu wadah, instansi terkait bidang kefarmasian akan lebih mudah memantau,” ujarnya.

Dengan demikian, seluruh pengusaha farmasi di Soloraya bisa terdeteksi. Pasalnya, kata Singgih, dari 145 perusahaan farmasi di Soloraya, baru 76 perusahaan yang bergabung menjadi anggota GP Farmasi Soloraya. “Sementara dari 70-an toko obat, baru 18 toko obat yang bergabung,” ungkapnya.

Perhatian terhadap bawahan

Suwarno mengenal Singgih Djuhartono lantaran istri Singgih adalah muridnya kala ia mengajar di SMK Farmasi Nasional Solo.

Perkenalan Suwarno kian intens kala Singgih mulai bergabung di organisasi Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Solo. “Dari sana saya tahu kalau ia pengusaha ulet yang mulai dari nol,” ujar Ketua Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI) Solo saat dijumpai Espos di Apotek Hidup Sehat, Jl Honggowongso, Kawatan, Solo, Jumat (11/2).

Selain itu, kata Suwarno, dalam mengelola usaha, Singgih amat perhatian pada bawahannya. Salah satu buktinya, karyawan yang bekerja di apoteknya tak cepat berganti. Sebagai pemimpin, Singgih menurutnya, memang senantiasa mampu menyembulkan urgensi loyalitas pada karyawannya. “Saya lihat karyawannya di apotek sebagian besar awet,” terang pensiunan guru dari SMK Farmasi Nasional Solo ini.

Tak ayal, dengan kemampuan kepemimpinannya itu, ia kini dipercaya memimpin GP Farmasi Surakarta yang merupakan komponen penting dalam dunia kefarmasian. Seperti halnya perhatiannya pada karyawannya, dalam mengelola organisasi kata Suwarno, Singgih selalu mengedepankan komunikasi. Maka, tiap kali ada permasalahan terkait farmasi di Soloraya, Singgih akan merangkul semua elemen untuk mencari solusi bersama. “Pak Singgih selalu jadi penjembatan,”

Pelindung yang objektif

Singgih di mata Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Solo, Partana, merupakan pribadi yang mengesankan.

“Orangnya itu welcome sekali dan kalau menyelesaikan masalah amat mementingkan mediasi,” ujar Partana saat ditemui Espos di ruang kerjanya, Rumah Sakit Jiwa Daerah, Solo, Sabtu (12/2).

Sebutlah ketika ada permasalahan di GP Farmasi maupun masalah lain yang berkaitan dengan tugasnya sebagai advokat. Singgih selalu memaksimalkan jalur mediasi. “Jika persoalan berkaitan dengan dinas, beliau itu juga akan dengan sigap menjembatani untuk menggelar pertemuan,” katanya.

Dalam memimpin organisasi, Singgih menurut Partana, juga senantiasa objektif. Jika anggotanya salah, ia tak segan menegur. Tetapi jika benar, ia pun akan berusaha maksimal untuk melindungi dan membantu anggotanya. “Dalam membina jaringan dengan orang-orang yang terkait farmasi juga bagus. Saat menjalankan tugasnya sebagai advokat juga tidak komersil,” paparnya.

Menurut Partana, keterlibatan kerja sama dengan Singgih biasanya lebih banyak pada kegiatan-kegiatan yang berbau seminar. Bahkan kali pertama Partana bertemu Singgih pada 1995 juga dalam sebuah forum bertajuk Sosialisasi Undang-undang Perlindungan Konsumen. “Yang jelas, dalam pergaulan Pak Singgih serba baik. Saya sering tidak bisa seperti dia,” pungkasnya.
===

Rahayu Supanggah Dari penabuh gamelan jadi komponis dunia
POSTED ON FEBRUARI 21, 2011

Penampilan Rahayu Supanggah menabuh gamelan dalam acara pembukaan Akademi Seni Karawitan Surakarta (ASKI) di tahun 1965, mengakhiri masa suram remajanya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu terkesima permainan gamelan Rahayu Supanggah. Ia lalu dipilih mengikuti misi kesenian ke Jepang, China dan Korea.Sejak itu, dari remaja berandalan, Rahayu Supanggah menjadi bintang karawitan. Kini, ia malah menjadi komponis dunia. Salah satu gubahan musik dalam film Opera Jawa yang disutradarai Garin Nugroho membuatnya menerima penghargaan Best Composer dalam ajang Hong Kong International Film Festival 2007. Ia menyisihkan 700 komponis dari berbagai belahan Planet Bumi.

Akhir tahun lalu, ia juga menerima tanda penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Masih banyak lagi penghargaan bergengsi yang sudah diraih, tapi beragam penghargaan itu tak membikin lelaki yang khas dengan penampilan rambut kucir itu bangga.

Di rumah bercat hijau, di Jl Jayaningsih 13, Benawa, Ngringo, Jaten, Karanganyar, beberapa lembar sertifikat penghargaannya malah dipajang di dinding kamar mandi. “Karena dinding sudah penuh semua. Apa boleh buat, saya taruh saja di kamar mandi. Saya tidak mementingkan penghargaan,” ujarnya sambil menunjukkan beberapa lembar sertifikat penghargaan yang ditempel di dinding kamar mandinya.

Sebagian sertifikat penghargaan lain tampak ditempelkan Rahayu Supanggah di dinding ruang tengah rumahnya, membaur dengan foto dan lukisan. Alhasil, rumah yang dilengkapi dengan pendapa berisi satu set gamelan itu lebih mirip galeri dari pada tempat tinggal.

Tak sengaja

Bagi anak semata wayang pasangan Gondo Saroyo dan Jami ini, memopulerkan gamelan ke seluruh penjuru dunia menjadi lebih penting ketimbang sekadar penghargaan. Tapi uniknya ketertarikan Panggah pada gamelan justru karena ketidaksengajaan.

“Ayah saya dalang. Nenek moyang saya sampai 10 turunan juga dalang. Rumah saya jadi tempat latihan murid-murid ayah saya. Makanya rumah saya seperti rumah sakit jiwa. Ada yang menyanyi maupun tabuhan. Dari situ, saya menjadi suka,” ungkapnya.

Melihat aktivitas murid-murid ayahnya itu, Panggah kecil mulai tertarik mendengarkan alunan gending. Tapi, ia lebih senang bergulat dengan pelajaran di sekolahnya. Apalagi Panggah tak pernah bercita-cita menjadi seniman. “Karena dulu seniman miskin. Semua nilai pelajaran saya baik. Kecuali satu yang jelek, pelajaran kerajinan tangan,” ujarnya.

Di bangku SMP tak berbeda. Prestasi Panggah di bidang akademik tak pernah mengecewakan. Walaupun saat itu, sebagai remaja SMP, Panggah nyambi menjadi buruh. Sepulang sekolah ia bekerja apa saja yang bisa menambah pundi-pundi keuangannya. Mulai dari buruh pencetak batu bata sampai tukang tambal ban.

“SMP saya ngenger. Saat itu kondisi ekonomi serba sulit. Saya SMP bahkan tidak punya seragam. Setiap Senin saya diskors di bawah tiang bendera. Masa kecil saya sangat menyedihkan. Tapi kata orang Jawa, bertapa saya di situ,” ungkapnya.

Setamat SMP, Panggah sukses menembus SMA terfavorit di Kota Solo. Cita-citanya saat itu, setamat SMA bisa melanjutkan di jurusan bergengsi seperti kedokteran di perguruan tinggi. Sayangnya, keinginannya masuk SMA Negeri 1 Solo kandas. Orangtua Panggah tak bisa menjangkau uang masuk SMA.

“Akhirnya saya disekolahkan di SMKI yang gratis. Tapi awal sekolah, saya stres. Saya jadi anak yang berandalan,” ungkapnya. Konsekuensinya, ia kerap dipanggil kepala sekolah untuk menerima petuah sekaligus hukuman.

Suatu ketika, ia merasa tak bikin kesalahan, namun ia tetap dipanggil kepala sekolah.”Rupanya saya diminta ikut misi Presiden ke Jepang, China, Korea. Saya ikut saja,” ujar lelaki yang di kalangan akdemisi lebih akrab disapa Rahayu itu.

Selama mengikuti misi kebudayaan bersama Kepala Negara tersebut, Panggah diperlihatkan semua ragam kesenian terbaik di tiga negara itu. Terang saja, sepulang dari Jepang, China dan Korea, pikiran dan hati Panggah terbuka. Panggah jadi terkagum-kagum pada dunia seni.

Ia menjadi sadar betapa kesenian amat memengaruhi peradaban suatu bangsa. ”Saya langsung berpikir. Mungkin jalan hidup saya di kesenian. Saya bisa jadi orang dengan menekuni kesenian. Kuncinya adalah kesenian itu harus bermanfaat, selalu kontemporer, harus selalu mengikuti zaman,” ungkapnya.

Sejak itu, semangat berkesenian Rahayu Supanggah pun meletup-letup. Ia menjadi optimistis lewat berkesenian dirinya dapat mencapai kehidupan lebih baik daripada saat masa kecilnya. ”Keluarga miskin. Saat saya masih dalam kandungan, hidup keluarga berpindah-pindah,” ujarnya.

Karena itu pula, kisahnya, setelah lahir ia diberi nama Panggah Rahayu yang berarti tetap selamat. ”Rahayu nama pemberian nenek dari ibu yang tinggal di Teras. Yang Supanggah pemberian dari nenek dari bapak di Sambi,” pungkasnya. – Oleh : Fetty Permatasari

Karya seni unggul lahir dari riset

Sebuah karya seni mestinya tak sekadar lahir dari intuisi dan imajinasi penciptanya. Karya seni unggul lahir setelah melewati proses panjang penelitian.

Prinsip itulah yang membuat setiap karya Rahayu Supanggah selalu khas dan unik.

“Yang penting dalam membuat karya adalah penelitian. Misalnya saat saya membuat I La Galigo. Saya harus membaca bukunya. Makanya saya membuat karya selalu tidak kurang dari dua tahun,” ujarnya.

Agar karya lebih objektif, Panggah selalu mengorelasikan muatan cerita dengan realitas masa kini. Taruhlah saat akan membuat musik untuk cerita Ramayana. Semua karakater tokoh harus ditelaah kembali. Terlebih tokoh Rama. Karena tokoh tersebut sudah tak ideal dengan era kini.

”Rama itu mengorbankan rakyatnya, mengorbankan harta bendanya, hanya untuk dirinya sendiri demi membebaskan Sinta. Sekarang ini seperti itu sudah tidak penting,” ungkapnya.

Penyesuaian dengan kondisi masa kini itulah menurut Panggah yang membuat sebuah karya bisa disebut modern. Jadi, agak salah kaprah jika ada yang masih menganggap sebuah karya seni baru masuk sebagai karya seni modern ketika bersentuhan dengan teknologi. “Jadi modern itu ketika karya menjadi kredo. Tidak sekadar fisik,” ujarnya.

Oleh sebab itulah, wayang kulit baru bisa disebut modern oleh Panggah jika cerita yang dituangkan berkorelasi dengan masa kini. Tidak sekadar mengawinkan dengan alunan campursari maupun berbagai teknologi terkini. ”Kalau yang pakai tambahan seperti itu namanya musik baru. Tapi intinya juga tergantung niat atau tujuannya. Kalau jadinya aneh namanya sensasional,” paparnya.

Seni yang berlandaskan riset, menurut Panggah sebetulnya telah diajarkan seniman terdahulu. Salah satunya seperti Ronggowarsito. Karena lewat riset, seniman melakukan pendekatan kepada manusia secara komprehensif. ”Dalang yang hebat juga seperti itu. Mereka melakukan riset, melakukan pendekatan kepada manusia sepenuhnya. Makanya dulu dalang sampai di panggil Ki,” ujarnya.

Tapi Panggah mengaku memang tak mudah membuat karya macam itu. Lantaran di Indonesia jumlah seniman tak diimbangi dengan jumlah kritikus yang menjadi penjembatan antara kesenian dan publik. ”Kalau ada kritikus jadi tahu, kesenian itu ngene lo, sing apik ngene, sing elek ngene. Sayangnya kalau di sini kritikus dimaknai tukang nyacat,” tukas dia.

Tak punya banyak mimpi

Dari sekian banyak cerita pewayangan, Rahayu Supanggah mengaku terkesima dengan cerita Dewa Ruci. Buah kecintaan kepada Dewa Ruci itu pula yang menginspirasinya membangun gapura ISI dengan bentuk perahu.

“Sayang yang membuat kapal salah, sebab harusnya di badan perahu dilengkapi bentuk semacam pena. Di ujung itu buah manggis. Buah manggis itu kejujuran. Di luar jelek tapi di dalam putih,” terangnya.

Bagi Panggah, Dewa Ruci layak menjadi inspirasi karena menjadi simbol pengembaraan Bima mencari makna hidup. Dalam cerita itu, Bima berguru kepada Durna yang ahli strategi perang. Bima pun disalahkan oleh keluarganya. Terlebih lagi, Durna adalah musuhnya. Tapi Bima tetap setia mencari makna hidup dengan berguru kepada Durna. “Jadi, siapa pun bisa menjadi orang jika setia kepada guru dan profesinya. Jika profesi itu ditekuni, ya bisa menjadi luar biasa. Saya sendiri penabuh gamelan, tapi saya tekuni, ya jadi seperti ini,” ungkapnya.

Dari filosofi Dewa Ruci itu, meski sudah berkeliling ke berbagai penjuru dunia, Rahayu Supanggah tetap bersemangat mengembara. Tujuannya satu, memapankan kredo atau filosofi hidupnya. ”Makanya, saya sejak dulu tidak pernah punya impian muluk. Saya berjalan menurut kehendak Tuhan. Kalau punya impian muluk, saya nanti kecewa,” ujarnya.

Meski demikian, impiannya membuat gamelan mendunia telah terwujud. Menurut Supanggah, di Amerika Serikat kini telah ada 600 set gamelan dan di Inggris Inggris 100 set gamelan. ”Dulu gemelan di lesehan gini, tapi sekarang gamelan di gedung teater paling bergengsi di dunia.”

Kini, di usia senjanya, Supanggah ingin berbuat baik untuk semakin banyak orang. Ia ingin terus menularkan virus berkesenian yang mengindonesia dan tidak berorientasi ke materi belaka. Sebab menurutnya, ketika kesenian digunakan untuk politik maka iming-iming yang paling terasa adalah uang. ”Siapa yang tidak butuh uang. Apalagi kalau di Jawa itu ada pilihan yang susah dipilih, ‘jeneng atau jenang?’ Sebetulnya jika jeneng sudah dicapai maka jenang akan mengikuti,” ujarnya.

Dalam berkesenian, seseorang menurut dia juga tak boleh menghalalkan segala cara. Sebutlah seperti membuat karya yang bernapaskan pornografi. ”Tetap ikuti norma. Ya memang yang sok-sok ora nduwe kanca, tapi kadang-kadang akan mendapatkan tempat yang sangat indah.”

Empu karawitan yang jenius

Di mata Suprapto Suryodarmo yang oleh para seniman lain akrab disapa Mbah Prapto, Rahayu Supanggah adalah sosok jenius yang mampu memadukan nilai-nilai tradisi dengan berbagai cabang seni.

“Ia betul-betul empu karawitan,” ujar seniman yang juga menjadi pimpinan Sanggar Lemah Putih itu saat dihubungi Espos,Minggu, (20/2).

Sebagai sesama seniman, Suprapto mengaku kagum akan kemampuan Supanggah menentukan pemikiran seni dalam ranah objektif. Taruhlah saat berkolaborasi dengan seniman berkaliber internasional, ia tetap bisa menampilkan karya yang berkarakter nasional. ”Ia tidak pernah meninggalkan unsur tradisi,” tegas Prapto.

Di dunia akademis, Suprapto menilai Rahayu Supanggah pun amat mumpuni. Itulah sebabnya, Suprapto berharap seniman-seniman muda Kota Solo intens menggali ilmu dari Rahayu Supanggah.

Low profile walaupun jadi orang top

Sederhana dan jujur. Begitulah kalimat yang meluncur kali pertama dari bibir RB Soewarno Notowijoyo, 62, sahabat satu kos Rahayu Supanggah selama menjadi tenaga honorer di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Solo.

”Sampai sekarang tetap low profile. Walaupun sudah jadi orang top tapi kehidupannya biasa. Beliau bisa menjadi teladan saya. Perjuangannya betul-betul dari nol,” ujarnya saat dijumpai Espos di rumahnya,Jl Ki Hjar Dewantoro 52,Pangungrejo, Solo, Sabtu (19/2).

Sebagai seorang yang mengenal Rahayu Supanggah sejak tahun 1966, Soewarno banyak menyimpan kenangan tentang sahabatnya itu. Kenangan yang tak terlupakan yakni saat Supanggah menjadi guru honorer di SMKI. Setelah mendapat honor, biasanya Soewarno selalu diajak ke hik. ”Nanti kami makan sate kikil. Beliau paling suka sate kikil. Tapi kalau sekarang,karena kesehatan,sudah mengurangi.”

Menurutnya, salah satu resep tetap awetnya persahabatannya dengan Rahayu Supanggah adalah karena mereka bersikap saling terbuka satu sama lain. ”Kami selalu berusaha mengucap syukur dalam keadaan apapun,” ungkapnya.
===

Rahayu Supanggah Dari penabuh gamelan jadi komponis dunia
POSTED ON FEBRUARI 21, 2011

Penampilan Rahayu Supanggah menabuh gamelan dalam acara pembukaan Akademi Seni Karawitan Surakarta (ASKI) di tahun 1965, mengakhiri masa suram remajanya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu terkesima permainan gamelan Rahayu Supanggah. Ia lalu dipilih mengikuti misi kesenian ke Jepang, China dan Korea.Sejak itu, dari remaja berandalan, Rahayu Supanggah menjadi bintang karawitan. Kini, ia malah menjadi komponis dunia. Salah satu gubahan musik dalam film Opera Jawa yang disutradarai Garin Nugroho membuatnya menerima penghargaan Best Composer dalam ajang Hong Kong International Film Festival 2007. Ia menyisihkan 700 komponis dari berbagai belahan Planet Bumi.

Akhir tahun lalu, ia juga menerima tanda penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Masih banyak lagi penghargaan bergengsi yang sudah diraih, tapi beragam penghargaan itu tak membikin lelaki yang khas dengan penampilan rambut kucir itu bangga.

Di rumah bercat hijau, di Jl Jayaningsih 13, Benawa, Ngringo, Jaten, Karanganyar, beberapa lembar sertifikat penghargaannya malah dipajang di dinding kamar mandi. “Karena dinding sudah penuh semua. Apa boleh buat, saya taruh saja di kamar mandi. Saya tidak mementingkan penghargaan,” ujarnya sambil menunjukkan beberapa lembar sertifikat penghargaan yang ditempel di dinding kamar mandinya.

Sebagian sertifikat penghargaan lain tampak ditempelkan Rahayu Supanggah di dinding ruang tengah rumahnya, membaur dengan foto dan lukisan. Alhasil, rumah yang dilengkapi dengan pendapa berisi satu set gamelan itu lebih mirip galeri dari pada tempat tinggal.

Tak sengaja

Bagi anak semata wayang pasangan Gondo Saroyo dan Jami ini, memopulerkan gamelan ke seluruh penjuru dunia menjadi lebih penting ketimbang sekadar penghargaan. Tapi uniknya ketertarikan Panggah pada gamelan justru karena ketidaksengajaan.

“Ayah saya dalang. Nenek moyang saya sampai 10 turunan juga dalang. Rumah saya jadi tempat latihan murid-murid ayah saya. Makanya rumah saya seperti rumah sakit jiwa. Ada yang menyanyi maupun tabuhan. Dari situ, saya menjadi suka,” ungkapnya.

Melihat aktivitas murid-murid ayahnya itu, Panggah kecil mulai tertarik mendengarkan alunan gending. Tapi, ia lebih senang bergulat dengan pelajaran di sekolahnya. Apalagi Panggah tak pernah bercita-cita menjadi seniman. “Karena dulu seniman miskin. Semua nilai pelajaran saya baik. Kecuali satu yang jelek, pelajaran kerajinan tangan,” ujarnya.

Di bangku SMP tak berbeda. Prestasi Panggah di bidang akademik tak pernah mengecewakan. Walaupun saat itu, sebagai remaja SMP, Panggah nyambi menjadi buruh. Sepulang sekolah ia bekerja apa saja yang bisa menambah pundi-pundi keuangannya. Mulai dari buruh pencetak batu bata sampai tukang tambal ban.

“SMP saya ngenger. Saat itu kondisi ekonomi serba sulit. Saya SMP bahkan tidak punya seragam. Setiap Senin saya diskors di bawah tiang bendera. Masa kecil saya sangat menyedihkan. Tapi kata orang Jawa, bertapa saya di situ,” ungkapnya.

Setamat SMP, Panggah sukses menembus SMA terfavorit di Kota Solo. Cita-citanya saat itu, setamat SMA bisa melanjutkan di jurusan bergengsi seperti kedokteran di perguruan tinggi. Sayangnya, keinginannya masuk SMA Negeri 1 Solo kandas. Orangtua Panggah tak bisa menjangkau uang masuk SMA.

“Akhirnya saya disekolahkan di SMKI yang gratis. Tapi awal sekolah, saya stres. Saya jadi anak yang berandalan,” ungkapnya. Konsekuensinya, ia kerap dipanggil kepala sekolah untuk menerima petuah sekaligus hukuman.

Suatu ketika, ia merasa tak bikin kesalahan, namun ia tetap dipanggil kepala sekolah.”Rupanya saya diminta ikut misi Presiden ke Jepang, China, Korea. Saya ikut saja,” ujar lelaki yang di kalangan akdemisi lebih akrab disapa Rahayu itu.

Selama mengikuti misi kebudayaan bersama Kepala Negara tersebut, Panggah diperlihatkan semua ragam kesenian terbaik di tiga negara itu. Terang saja, sepulang dari Jepang, China dan Korea, pikiran dan hati Panggah terbuka. Panggah jadi terkagum-kagum pada dunia seni.

Ia menjadi sadar betapa kesenian amat memengaruhi peradaban suatu bangsa. ”Saya langsung berpikir. Mungkin jalan hidup saya di kesenian. Saya bisa jadi orang dengan menekuni kesenian. Kuncinya adalah kesenian itu harus bermanfaat, selalu kontemporer, harus selalu mengikuti zaman,” ungkapnya.

Sejak itu, semangat berkesenian Rahayu Supanggah pun meletup-letup. Ia menjadi optimistis lewat berkesenian dirinya dapat mencapai kehidupan lebih baik daripada saat masa kecilnya. ”Keluarga miskin. Saat saya masih dalam kandungan, hidup keluarga berpindah-pindah,” ujarnya.

Karena itu pula, kisahnya, setelah lahir ia diberi nama Panggah Rahayu yang berarti tetap selamat. ”Rahayu nama pemberian nenek dari ibu yang tinggal di Teras. Yang Supanggah pemberian dari nenek dari bapak di Sambi,” pungkasnya. – Oleh : Fetty Permatasari

Karya seni unggul lahir dari riset

Sebuah karya seni mestinya tak sekadar lahir dari intuisi dan imajinasi penciptanya. Karya seni unggul lahir setelah melewati proses panjang penelitian.

Prinsip itulah yang membuat setiap karya Rahayu Supanggah selalu khas dan unik.

“Yang penting dalam membuat karya adalah penelitian. Misalnya saat saya membuat I La Galigo. Saya harus membaca bukunya. Makanya saya membuat karya selalu tidak kurang dari dua tahun,” ujarnya.

Agar karya lebih objektif, Panggah selalu mengorelasikan muatan cerita dengan realitas masa kini. Taruhlah saat akan membuat musik untuk cerita Ramayana. Semua karakater tokoh harus ditelaah kembali. Terlebih tokoh Rama. Karena tokoh tersebut sudah tak ideal dengan era kini.

”Rama itu mengorbankan rakyatnya, mengorbankan harta bendanya, hanya untuk dirinya sendiri demi membebaskan Sinta. Sekarang ini seperti itu sudah tidak penting,” ungkapnya.

Penyesuaian dengan kondisi masa kini itulah menurut Panggah yang membuat sebuah karya bisa disebut modern. Jadi, agak salah kaprah jika ada yang masih menganggap sebuah karya seni baru masuk sebagai karya seni modern ketika bersentuhan dengan teknologi. “Jadi modern itu ketika karya menjadi kredo. Tidak sekadar fisik,” ujarnya.

Oleh sebab itulah, wayang kulit baru bisa disebut modern oleh Panggah jika cerita yang dituangkan berkorelasi dengan masa kini. Tidak sekadar mengawinkan dengan alunan campursari maupun berbagai teknologi terkini. ”Kalau yang pakai tambahan seperti itu namanya musik baru. Tapi intinya juga tergantung niat atau tujuannya. Kalau jadinya aneh namanya sensasional,” paparnya.

Seni yang berlandaskan riset, menurut Panggah sebetulnya telah diajarkan seniman terdahulu. Salah satunya seperti Ronggowarsito. Karena lewat riset, seniman melakukan pendekatan kepada manusia secara komprehensif. ”Dalang yang hebat juga seperti itu. Mereka melakukan riset, melakukan pendekatan kepada manusia sepenuhnya. Makanya dulu dalang sampai di panggil Ki,” ujarnya.

Tapi Panggah mengaku memang tak mudah membuat karya macam itu. Lantaran di Indonesia jumlah seniman tak diimbangi dengan jumlah kritikus yang menjadi penjembatan antara kesenian dan publik. ”Kalau ada kritikus jadi tahu, kesenian itu ngene lo, sing apik ngene, sing elek ngene. Sayangnya kalau di sini kritikus dimaknai tukang nyacat,” tukas dia.

Tak punya banyak mimpi

Dari sekian banyak cerita pewayangan, Rahayu Supanggah mengaku terkesima dengan cerita Dewa Ruci. Buah kecintaan kepada Dewa Ruci itu pula yang menginspirasinya membangun gapura ISI dengan bentuk perahu.

“Sayang yang membuat kapal salah, sebab harusnya di badan perahu dilengkapi bentuk semacam pena. Di ujung itu buah manggis. Buah manggis itu kejujuran. Di luar jelek tapi di dalam putih,” terangnya.

Bagi Panggah, Dewa Ruci layak menjadi inspirasi karena menjadi simbol pengembaraan Bima mencari makna hidup. Dalam cerita itu, Bima berguru kepada Durna yang ahli strategi perang. Bima pun disalahkan oleh keluarganya. Terlebih lagi, Durna adalah musuhnya. Tapi Bima tetap setia mencari makna hidup dengan berguru kepada Durna. “Jadi, siapa pun bisa menjadi orang jika setia kepada guru dan profesinya. Jika profesi itu ditekuni, ya bisa menjadi luar biasa. Saya sendiri penabuh gamelan, tapi saya tekuni, ya jadi seperti ini,” ungkapnya.

Dari filosofi Dewa Ruci itu, meski sudah berkeliling ke berbagai penjuru dunia, Rahayu Supanggah tetap bersemangat mengembara. Tujuannya satu, memapankan kredo atau filosofi hidupnya. ”Makanya, saya sejak dulu tidak pernah punya impian muluk. Saya berjalan menurut kehendak Tuhan. Kalau punya impian muluk, saya nanti kecewa,” ujarnya.

Meski demikian, impiannya membuat gamelan mendunia telah terwujud. Menurut Supanggah, di Amerika Serikat kini telah ada 600 set gamelan dan di Inggris Inggris 100 set gamelan. ”Dulu gemelan di lesehan gini, tapi sekarang gamelan di gedung teater paling bergengsi di dunia.”

Kini, di usia senjanya, Supanggah ingin berbuat baik untuk semakin banyak orang. Ia ingin terus menularkan virus berkesenian yang mengindonesia dan tidak berorientasi ke materi belaka. Sebab menurutnya, ketika kesenian digunakan untuk politik maka iming-iming yang paling terasa adalah uang. ”Siapa yang tidak butuh uang. Apalagi kalau di Jawa itu ada pilihan yang susah dipilih, ‘jeneng atau jenang?’ Sebetulnya jika jeneng sudah dicapai maka jenang akan mengikuti,” ujarnya.

Dalam berkesenian, seseorang menurut dia juga tak boleh menghalalkan segala cara. Sebutlah seperti membuat karya yang bernapaskan pornografi. ”Tetap ikuti norma. Ya memang yang sok-sok ora nduwe kanca, tapi kadang-kadang akan mendapatkan tempat yang sangat indah.”

Empu karawitan yang jenius

Di mata Suprapto Suryodarmo yang oleh para seniman lain akrab disapa Mbah Prapto, Rahayu Supanggah adalah sosok jenius yang mampu memadukan nilai-nilai tradisi dengan berbagai cabang seni.

“Ia betul-betul empu karawitan,” ujar seniman yang juga menjadi pimpinan Sanggar Lemah Putih itu saat dihubungi Espos,Minggu, (20/2).

Sebagai sesama seniman, Suprapto mengaku kagum akan kemampuan Supanggah menentukan pemikiran seni dalam ranah objektif. Taruhlah saat berkolaborasi dengan seniman berkaliber internasional, ia tetap bisa menampilkan karya yang berkarakter nasional. ”Ia tidak pernah meninggalkan unsur tradisi,” tegas Prapto.

Di dunia akademis, Suprapto menilai Rahayu Supanggah pun amat mumpuni. Itulah sebabnya, Suprapto berharap seniman-seniman muda Kota Solo intens menggali ilmu dari Rahayu Supanggah.

Low profile walaupun jadi orang top

Sederhana dan jujur. Begitulah kalimat yang meluncur kali pertama dari bibir RB Soewarno Notowijoyo, 62, sahabat satu kos Rahayu Supanggah selama menjadi tenaga honorer di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Solo.

”Sampai sekarang tetap low profile. Walaupun sudah jadi orang top tapi kehidupannya biasa. Beliau bisa menjadi teladan saya. Perjuangannya betul-betul dari nol,” ujarnya saat dijumpai Espos di rumahnya,Jl Ki Hjar Dewantoro 52,Pangungrejo, Solo, Sabtu (19/2).

Sebagai seorang yang mengenal Rahayu Supanggah sejak tahun 1966, Soewarno banyak menyimpan kenangan tentang sahabatnya itu. Kenangan yang tak terlupakan yakni saat Supanggah menjadi guru honorer di SMKI. Setelah mendapat honor, biasanya Soewarno selalu diajak ke hik. ”Nanti kami makan sate kikil. Beliau paling suka sate kikil. Tapi kalau sekarang,karena kesehatan,sudah mengurangi.”

Menurutnya, salah satu resep tetap awetnya persahabatannya dengan Rahayu Supanggah adalah karena mereka bersikap saling terbuka satu sama lain. ”Kami selalu berusaha mengucap syukur dalam keadaan apapun,” ungkapnya.
===


0 Response to "GABUNGAN"