Dialah Farida Oetoyo—sosok anggun yang darah seninya mengalir deras dari para leluhur, seniman besar dalam jagat musik dan layar perak. Di tubuhnya, mengalun harmoni darah seni dan diplomasi: ayahandanya, R. Oetoyo Ramelan, seorang pejabat tinggi yang melanglang buana sebagai Duta Besar Republik Indonesia, mengabdi pada bangsa dengan kehormatan dan dedikasi. Sementara sang ibunda, Maria Johanna Margaretha Te Nuyl, perempuan berdarah Belanda yang lembut, membalut keluarga dalam kasih yang tenang.
Farida tumbuh bersama dua adik laki-lakinya—Fajar Alam dan Satria Sejati—namun takdir menulis cerita berbeda bagi mereka. Kedua adiknya memilih menetap jauh di Kanada, meninggalkan tanah air dalam kenangan. Sementara Farida, dari usia yang begitu belia, telah menghirup udara negeri-negeri asing, mengikuti jejak sang ayah yang mengemban amanah di Singapura, kemudian berpindah dari satu kota ke kota lain di Asia dan Eropa.
Di antara kota-kota itu, di usia kanaknya yang masih dipenuhi bunga mimpi, Farida kecil menemukan pesonanya pada tarian balet. Kakinya mulai menapak jalan keindahan dalam ruang kelas Ballet Fine Arts of Movement di bawah asuhan Willy Blok Hansen di Singapura. Kelak, langkahnya pun berpindah ke Royal Academy of Dance di Canberra, Australia—langkah-langkah kecil yang kelak menari megah di panggung dunia.
Sebuah Luka di Masa Remaja
Namun tak selamanya hidup berdendang indah. Di usia 14 tahun, badai datang begitu cepat—sang ayah wafat mendadak karena serangan jantung. Dunia seakan runtuh dalam sekejap. Farida, yang semula berada dalam gemerlap dunia diplomatik, harus menanggalkan semua kenyamanan dan menerima kenyataan hidup sebagai anak yatim.
Kesulitan hidup datang bertubi-tubi. Tapi tak pernah padam semangatnya untuk terus menari. Dalam sunyi yang menyesak, ia berdoa—dan alam semesta menjawab. Sebuah beasiswa dari pemerintah Rusia datang bagai cahaya dari langit. Farida disambut oleh panggung impian setiap ballerina di dunia: Akademi Balet Bolshoi di Moskwa, Rusia—katedral agung bagi para pemuja keindahan gerak tubuh.
Di Balik Dinding Akademi Bolshoi
Selama empat tahun yang panjang, dari pukul sembilan pagi hingga malam menjelang, Farida digembleng dalam disiplin ketat. Alla Mihailovna, guru wanita berwibawa, membentuknya bukan hanya sebagai penari, tetapi sebagai seniman sejati. Di sana, Farida tak hanya belajar balet klasik, tapi juga menyerap ilmu sejarah seni, karakter, manajemen, bahkan drama pentas—membentuknya menjadi sosok yang utuh dalam panggung kehidupan.
Hingga akhirnya, ia berdiri di hadapan 50 pakar balet dunia—dengan gemetar namun pasti—dan lulus dengan predikat Cum Laude, menyandang gelar agung: Artist of Ballerina. Tak hanya puas dengan klasik, Farida melanjutkan perjalanan ke Amerika Serikat, menimba ilmu dari tokoh-tokoh besar balet modern seperti Martha Graham dan Alvin Nicolais.
Kembali ke Tanah Ibu
Farida pulang. Membawa segunung ilmu dan segenggam cinta untuk tanah airnya. Ia tak hanya menari, tapi membangun. Bersama Yulianti Parani, ia mendirikan sekolah balet Nritya Sundara di Jakarta pada tahun 1957—sebuah langkah besar yang menghidupkan denyut balet di tanah air. Panggung-panggung mulai hidup. Penonton mulai berduyun-duyun. Lima ribu kursi terisi penuh di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki. Media tak berhenti menulis. Angin segar berembus bagi dunia tari Indonesia.
Karya-Karya Abadi
Karya-karyanya bukan sekadar tari, melainkan puisi yang hidup di atas panggung. "Rama & Shinta"—sebuah kisah cinta yang megah, dan "Gunung Agung Meletus"—sebuah metafora kegelisahan alam dan manusia, adalah mahakarya yang tak lekang oleh zaman. Lalu ada juga "Carmina Burana", "Putih-Putih", hingga "Daun Fulus"—setiap karya membawa penonton dalam perjalanan jiwa yang penuh makna.
Sang Maestra
Bukanlah berlebihan jika dunia menyebutnya sebagai Maestra Balet Indonesia. Farida pernah berpentas bersama Teater Bolshoi, menari di panggung-panggung agung Eropa dan Amerika. Tapi ia selalu kembali. Menjadi guru. Menjadi ibu bagi penari-penari muda di sekolah balet Sumber Cipta miliknya di Ciputat. Hingga hari ini, ia tetap mengajar, tetap menyala.
Sepenggal Kisah di Dunia Film
Di sela-sela langkah gemulai, Farida sempat menyentuh dunia layar lebar. Berkat ajakan sang suami, sutradara kenamaan Sjumandjaja, ia membintangi film-film seperti Perawan di Sektor Selatan, Apa Jang Kau Tjari, Palupi?, dan Bumi Makin Panas. Namun panggilan jiwanya selalu berpulang ke panggung balet, tempat di mana hatinya menari bebas.
Farida Oetoyo: Tarian Hidup Sang Legenda
Lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 7 Juli 1939, Farida Oetoyo adalah lebih dari sekadar penari. Ia adalah suara lembut dalam badai, cahaya yang menari dalam gelap, dan wujud nyata bahwa seni dapat menjadi jalan pulang bagi yang pernah kehilangan. Seorang maestro. Seorang legenda.
0 Response to "Farida Oetoyo — Dalam Lintasan Cahaya Balet dan Kehidupan"
Posting Komentar