Kemampuan mempertahankan pakem pewayangan merupakan sebuah kekuatan yang tiada taranya dalam menghadapi modernitas yang semakin hari semakin mendesak budaya jawa. Kemampuan inilah yang perlu kita teladani dari dalang yang masih muda usia ini.Meski pakem ia pegang teguh bukan berarti tidak mampu membawa penonton menjadi mundur dari pagelaran. Bahkan julukan Slank yang ia sandang telah melekat kuat di dalam dirinya.Sementara yang lain sudah mulai mengobrak abrik tatanan karena desakan modernitas Warseno tetap kuat mempertahankan dirinya pada idialisme budaya. Paling tidak, Warseno telah membuktikan bahwa pentas wayang tanpa disisipi hura-hura macam penambahan musik diatonis, keyboard, gitar, dan peralatan band lainnya, tetap bisa diterima oleh penonton.Tapi karena "disiplin pakem" itu, maka para bintang tamu yang ikut tampil di acara tersebut, para penyanyi dari grup dangdut Ervana, seperti "diperkosa" suaranya. Mereka harus menyanyi sesuai nada gamelan, yang nada dasarnya tak mungkin dinaik-turunkan.Selain itu ia juga mempunyai talenta yang kuat dibidang pewayangan. Seperti diketahui wayang merupakan sebuah budaya jawa yang kaya akan makna. Itupun ternyata menjadi pegangan saat ia menjalani kehidupan sehari-hari.Maka tak heran jika pendalang ini mampu menjadi tokoh yang di segani bagi kalangan atas dan merakyat dikalangan bawah.Paguyuban Pengemudi Becak Solo Raya (PPBSR), lembaga baru yang mengorganisasi sekitar 1.400 pengemudi becak, Sabtu besok akan dideklarasi. Acara itu dimeriahkan dengan penampilan dalang kondang Ir Warseno Slenk MSi yang juga diangkat sebagai penasihat.
Adik dari Ki H Anom SurotoBerbeda dengan pentas-pentas sebelumnya, kali ini dalang lulusan pascasarjana Ilmu Politik UGM tersebut hanya membawa dua perangkat gamelan pelog dan slendro. Meski tanpa tambahan instrumen lain yang hanya menawarkan nada pentatonis, kegayengan gending-gending yang disuguhkan tetap utuh.
"Sri Mulih"Bukan Ki Warseno, kalau tidak bisa ngeslenk untuk mengocok perut para penonton. Adik dalang beken Ki H Anom Suroto yang coba kembali pada "disiplin" pakem pewayangan itu, tetap mampu "mengacak-acak" alur lakon lewat sanggit dan antawacana yang menggelitik.Mulai dari kondisi dan situasi politik saat ini hingga penderitaan masyarakat Indonesia yang diterjang badai krismon dan bencana alam, terlontar lewat dialog-dialog yang terkadang konyol dan juga berbalik menjadi trenyuh. Kritikan yang dikemas dalam bahasa dalang Slenk itulah, yang membuat penonton betah menyaksikan pentas tersebut.Ceritanya sendiri, menyangkut masalah kegelisahan di Negeri Amarta. Negeri yang sebelumnya terkenal gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja itu, belakangan dilanda krisis kebangsaan. Banyak daerah yang ingin memisahkan diri, masyarakatnya banyak menuntut. Di sisi lain, dalam pemerintahan banyak pejabat yang melenceng dari bebener.Karena kekacauan itu, Dewi Sri sebagai lambang kemakmuran oncat dari Amarta. Ia mau pulang, kalau Amarta sudah tenteram seperti sedia kala. Kesemerawutan di Amarta itu, juga menyebabkan kemarahan alam, seperti banjir, dan longsor. Alam marah pada manusia, karena lingkungan alam terbentuk dan berasal dari pikiran manusia.Paling tidak, Warseno telah membuktikan bahwa pentas wayang tanpa disisipi hura-hura macam penambahan musik diatonis, keyboard, gitar, dan peralatan band lainnya, tetap bisa diterima oleh penonton.Berbeda dengan pentas-pentas sebelumnya, kali ini dalang lulusan pascasarjana Ilmu Politik UGM tersebut hanya membawa dua perangkat gamelan pelog dan slendro. Meski tanpa tambahan instrumen lain yang hanya menawarkan nada pentatonis, kegayengan gending-gending yang disuguhkan tetap utuh.Tapi karena "disiplin pakem" itu, maka para bintang tamu yang ikut tampil di acara tersebut, para penyanyi dari grup dangdut Ervana, seperti "diperkosa" suaranya. Mereka harus menyanyi sesuai nada gamelan, yang nada dasarnya tak mungkin dinaik-turunkan.
0 Response to "Dalang Gaul Ki Warseno Slank"
Posting Komentar