Latest News

Sri Suhartinah di Masa Sebelum Pendudukan Jepang

Sebelum Jepang memasuki kota Solo pada tahun 1942, Siti Hartinah kembali memasuki gerakan kepanduan. Kali ini tidak lagi di JPO melainkan di Pandu rakyat Indonesia. Aktivitasnya itu juga merupakan kegiatan satu-satunya di luar rumah. Selebihnya ia tinggal di dalam rumah dengan kegiatan membatik. Kain batik karyanya ia jual. Uangnya digunakan untuk kursus mengetik dan steno.
Setelah Jepang memasuki kota Solo, terjadi perkembangan yang sangat cepat di segala bidang kemasyarakatan dan pemerintahan. Tentara pendudukan Jepang mengadakan pendidikan dan kursus-kursus, termasuk kursus bahasa Jepang. Selain dibentuk pula organisasi-organisasi kemasyarakatan, termasuk organisasi wanita Fujinkai. Siti Hartinah setalah mendapat izin orangtuanya segera mendaftar di organisasi tersebut. Dalam organisasi itu dilatih baris-berbaris, latihan kepemimpinan, bagaimana melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh pergerakan, dan lain-lain. Mereka juga dilatih berpidato dan belajar sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka. Dari sini, benih-benih semangat nasionalisme muncul di kalangan remaja putri Solo yang terkenal lemah lembut. Mereka sesungguhnya memiliki semangat tinggi untuk turut aktif dalam gerakan mewujudkan kemerdekaan.
Siti Hartinah juga mengikuti kursus bahasa Jepang pada orang Jepang yang sudah lama menetap di Solo sebagai pengusaha pada zaman kolonial Belanda, bukan pada tentara pendudukan Jepang. Dalam waktu singkat ia sudah mahir berbahasa Jepang.
Laskar Putri Indonesia
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, rakyat Solo segera melakukan mobilisasi untuk mendukung kemerdekaan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melucuti senjata tentara Jepang. Ternyata, kaum wanita Solo pun antusias untuk terlibat dalam upaya heroik itu. Putri-putri Solo yang gemulai itu pada tanggal 11 Oktober 1945 membentuk organisasi bersenjata yang mereka namakan Laskar Puteri Indonesia.
Dalam waktu singkat, jumlah anggota Laskar Puteri Indonesia meningkat cepat. Mula-mula berjumlah 150 orang kemudian bertambah menjadi 200 orang. Mereka dilatih oleh perwira dari Batalyon yang dipimpin Mayor Soeharto. Persenjataan pun diperoleh dari batalyon yang sama. Dengan memiliki 120 pucuk senjata, laskar itu pun telah menjelma menjadi pasukan tempur wanita.
LPI bertujuan untuk membentuk pasukan bantuan untuk melayani kepentingan pasukan garios depan dan garis belakang demi suksesnya perjuangan. Untuk itu, diperlukan organisasi yang baik seperti kepemimpinan dan staf sebagai unsur pendukungnya. Komandan LPI diserahkan kepada nona Soedijem, sedangkan wakilnya adalah nona Sajem. Siti Hartina duduk di staf yang mengendalikan urusan perlengkapan atau logistik. LPI menyelenggarakan dapur-dapur umum di medan pertempuran dan membatu markas-markas pertempuran, membatu tugas-tugas kesehatan PMI, mencari peralatan, makanan untuk Kesatuan yang membutuhkan, menyelenggarakan latihan-latihan kemiliteran dan lain-lain.
Selama di LPI, Siti Hartinah tidak pernah berada di garis depan pertempuran. Tetapi, ia menjadi tulang punggung di garis belakang yang sangat membantu perjuangan di garis depan. Selama menjadi anggota LPI, Siti Hartinah pernah ditempatkan di dapur umum Salatiga untuk membantu kekurangan tenaga di sana. Secara umum, LPI benar-benar menjadi penunjang kesuksesan perjuangan melawan musuh.
Meskipun LPI memiliki andil besar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, namun keberadaannya tidak dapat bertahan lama. Organisasi itu terbentur pada peraturan pemerintah yang mengambil kebijakan rasionalisasi kelaskaran bersenjata. Atas dasar kebijakan tersebut, maka di penghujung tahun 1946, LPI dibubarkan.
Anggota-anggota LPI yang telah terlatih mengambil jalan masing-masing. Ada yang kembali ke dunia pendidikan menjadi guru, ada yang kembali sekolah, dan yang paling banyak adalah yang menggabungkan diri pada markas pimpinan pertempuran. Siti Hartinah yang masing memiliki semangat perjuangan yang kuat bergabung dengan Laskar Rakyat Indonesia dan duduk di seksi keuangan. Tugasnya adalah tidak semata-mata melakukan pengumpulan dana, melainkan juga mengadakan keperluan dapur seperti sayur-mayur, tahu, tempe, dan sebagainya.
Pengumpulan dana dilakukan dengan cara mengedarkan kotak-kotak sumbangan sosial, melakukan pertunjukan wayang orang dan pertunjukan lainnya di Stadion Sriwedari, dan berbagai upaya halal lainnya. Siti Hartinah bertugas mengelola administrasi keuangan, baik yang masuk maupun yang keluar.
Di samping mengerjakan pekerjaan tersebut, perhatian Siti Hartinah terhadap keluarga korban perang sangat luar biasa. Ia akan mendatangi keluarga yang ditinggal oleh suami atau ayah mereka yang gugur di medan pertempuran.
Bertemu Kekasih
Usia Siti Hartinah terus bertambah, namun ia tidak juga menunjukkan tanda-tanda tertarik pada lawan jenis. Orang tuanya, tante-tante dan kerabatnya justru khawatir dara berlesung pipit ini tidak kunjung mendapat jodoh. Padahal, Siti Hartinah sendiri sering berdoa agar dirinya diberi jodoh yang benar-benar cocok dan tidak hanya sekadar sebagai suami tetapi juga sebagai kawan seperjuangan sepanjang jalan kehidupan nantinya.
Hingga pada suatu hari datanglah utusan keluarga Prawirowihardjo yang merupakan orang tua angkat Soeharto bermaksud melamar Siti Hartinah. Pada waktu lamaran, baik Soeharto maupun Siti Hartinah sama-sama belum saling bertemu. Sebelum lamaran dilakukan, ada kegamangan di hati pemuda Soeharto kalau lamaran itu bakal ditolak. Alasannya, dia berasal dari kalangan biasa, sedangkan Siti Hartinah merupakan keluarga bangsawan.
Barangkali inilah yang namanya jodoh. Bukan satu dua kali Siti Hartinah mendapat lamaran atau ada pemuda yang mencoba mendekatinya, tetapi dia selalu saja menolak. Akan tetapi, ketika yang melamar adalah seorang perwira muda bernama Soeharto, dia sama sekali tidak menunjukkan keberatannya.
Perkawinan kedua insan yang tidak melakukan masa pacaran sebelumnya terjadi pada tanggal 26 Desember 1947. Upacara pernikahan dilangsungkan secara amat sederhana. Resepsi pun hanya diterangi lampu lilin yang redup. Malam pertama mereka diwarnai dengan pemberlakuan jam malam. Setiap warga tidak diperkenankan meninggalkan rumah atau tidak boleh terlihat keluar rumah oleh aparat yang berjaga. Dalam kondisi yang darurat seperti itu, sangat wajar jika tidak ada dokumentadi dalam bentuk foto perkawinan dua insan itu. Pada waktu menikah, uasia Soeharto adalah 26 tahun sedangkan Siti Hartinah 24 tahun.
Meskipun tanpa melalui acara pacaran, mereka berdua berupaya mempertahankan perkawinan sepanjang usia. Keduanya berpegang pada pepatah, "witing tresna jalaran saka kulina" yang berarti datangnya cinta karena bergaul dekat.

0 Response to "Sri Suhartinah di Masa Sebelum Pendudukan Jepang"