Bangsa Indonesia kehilangan seorang tokoh besar, diplomat santun dan pembaharu Islam. Mantan Menteri Agama (1983-1988 dan 1988-1993) dan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pertama (1996-1998), Prof Dr H Munawir Sjadzali MA meninggal dunia di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, Jumat 23 Juli 2004 pukul 11.20. Jenazah mantan anggota Dewan Pertimbangan Agung (1993-1998), ini disemayamkan di rumah duka di Jalan Bangka VII No.5-B Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan dimakamkan di tempat pemakaman keluarga Giritama, Bogor, Jawa Barat, hari Sabtu 24 Juli 2004.
Pria kelahiran Desa Karanganom, Klaten, 7 November 1925, ini meninggalkan istri, Murni Sjadzali, yang dinikahinya pada 1950 dan enam anak, yaitu Muchlis (almarhum), Mustahdiyati, Mustain, Muhtadi, Mutiawati, dan Muhflihatun, serta 14 cucu. Ia sempat dirawat di rumah sakit tersebut sejak 8 Juni 2004, akibat serangan stroke dan komplikasi beberapa penyakit.
Masa kecil dilalui di desa kelahirannya Karanganom, Klaten, Jawa Tengah dalam keluarga sederhana dan taat beragama. Ayahnya almarhum Kiyai Haji Mughofir dan ibunya Byai Tas'iyah mendidiknya dengan ilmu agama. Ia sekolah di Madrasah Thanawiyah Al Islam di bawah asuhan Kiyai Ghazali, seorang ulama terkenal waktu itu. Suatau ketika ia pernah mengungkapkan masa kecilnya kepada para santri di Pondok Pesantren Kebarongan, Banyumas, Jawa Tengah, "Dulu, saya bersekolah tak mengenal sarapan, apalagi sepatu. Tapi tak pernah lalai."
Ia pun berkisah suatu ketika untuk menebus ijazah, karena ketiadaan uang, ibunya menjanjikan akan menjual gelugu (batang pohon kelapa) di depan rumahnya. Lalu setelah ia menebus ijazah, tiba di rumah ia kaget, karena gelugu masih tetap tegak berdiri. Sang Ibu ternyata tenang menjawab, "Kan bisa memakai sarung punya Ayah." Anak sulung dari tiga bersaudara ini pun tidak kuat membendung air matanya. Ia tersedu, bersimpuh di pangkuan ibunya.
Selesai SMP, ia melanjut ke Pesantren Membaul Ulum dan Sekolah Tinggi Islam Mambaul Ulum di Solo hingga tamat 1943. Ia semula bercita-cita sekolah di Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir, tetapi tidak kesampaian karena ayahnya, Kiai Mughaffir--pemimpin pesantren kecil di Klaten, seorang ahli nahwu (tata bahasa Arab)--tidak mampu membiayai.
Batal kuliah di Universitas Al-Azhar, ia lantas mengajar di SD Islam Gunungjati, Ungaran, 1944, sampai pecah revolusi kemerdekaan, ia ikut bergabung dalam perjuangan kemerdekaan sebagai perwira penghubung antara Markas Pertempuran Jawa Tengah di Salatiga dan Badan Kelaskaran Islam.
Sehabis revolusi kemerdekaan, ia pindah ke Jakarta. Rajin keluar masuk perpustakaan, ia kemudian menulis buku berjudul "Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam?" pada 1950. Buku ini mendapat perhatian publik dan kemudian dibaca Bung Hatta. Oleh Bung Hatta, buku pertamanya dinilai perlu dikembangkan kualitasnya karena tidak klise.
Buku ini pula membuat Bung Hatta tertarik pada Munawir muda ini. Lalu Bung Hatta memfasilitasinya memperoleh pekerjaan sebagai staf Seksi Arab/Timur Tengah Deplu (1950). Di departemen ini, harapannya untuk belajar di luar negeri terkabul meskipun tidak di Universitas Al-Azhar, tetapi di University of Exeter, Inggris. Di Inggris, Munawir mengambil kursus diplomatik dan konsuler serta mendalami ilmu politik dan hubungan internasional.
Kemudian ia menjadi Atase/Sekretaris III Kedutaan Besar RI di Washington, AS (1956-1959). Pada masa ini, ia menyempatkan diri melanjutkan studi di Georgetown University Amerika Serikat hingga memperoleh ijazah Master of Art bidang Filsafat Politik dengan tesis Indonesia's Moslem Parties and Their Political Concepts (1959). Kemudian ia menjabat dan Kepala Bagian Amerika Utara, Deplu (1959-1963).
Selepas meraih gelar master itu, karir diplomat yang gemar mendengarkan musik ini makin cemerlang. Ia dipercaya menjabat Setiausaha Pertama, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Colombo, Sri Lanka (1965-1965). Lalu menjabat Kuasa Usaha, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Sri Lanka (1965-1968). Kemudian di tarik ke Jakarta menjabat Kpala Biro, Tata Usaha Sekretariat Jenderal, Deplu (1969-1970). Lalu bertugas di Kedutaan Besar Republik Indonesia di London (1971-1974), sebelum diangkat menjadi Kepala Biro Umum, Deplu (1975-1976).
Lalu diangkat menjabat Duta Besar di Uni Emirat Arab, Bahrain dan Qatar (1976-1980), sebelum ditarik kembali ke Jakarta menjabat Direktur Jenderal Politik Deplu (1980-1983). Kemudian diangkat menjabat Menteri Agama Republik Indonesia (1983-1993). Selepas itu, ia pun mengakhiri karir dan pengabdiannya pada negara sebagai Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan anggota Dewan Pertimbangan Agung (1993-1998).
Sebagai seorang negarawan dan ilmuan, ia amat berminat dalam mengembangkan ilmu Islam. Penguasaan dan pemikirannya menonjol dalam dua bidang yaitu Hukum Islam dan Fiqh Siyasi. Di antara karya ilmiah yang pernah dihasilkannya adalah (1) Islam dan Tatanegara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (2) Islam: Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa, dan (3) Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam. Buku ketiganya ini mendapat perhatian umum.
Ia dikenal seorang yang diplomat yang tenang, tulus dan pandai mendongeng. Seringkali ketika menyampaikan pemikiran dan gagasannya, ia menggunakan dongeng sebagai perantara. Suatu ketika, saat menjabat sebagai Menteri Agama, di depan para ulama Jawa Barat Munawir mengisahkan persahabatan antara petani dan beruang.
"Suatu ketika, beruang marah karena seekor lalat mengganggu tidur petani. Beruang mengambil batu besar dan kemudian menghunjamkannya ke dahi petani yang dihinggapi lalat. Siapa pun tidak meragukan kesetiaan beruang, tetapi kebodohannya membuat petani mati. Yang mirip beruang banyak terdapat di masyarakat. Berlagak membela agama, padahal mementingkan dirinya sendiri," ujarnya.
Semasa menjabat Menteri Agama, Munawir telah membangun Departemen Agama menjadi departemen yang bergengsi. Ia juga tercatat sebagai menteri agama yang sangat memerhatikan pendidikan. Terutama dengan kebijakan mengirim mahasiswa untuk belajar di luar negeri.
Ia senang mendengarkan musik. Memiliki rekaman Tchaikovsky dan Beethoven, namun penggemar biduanita Mesir, Ummi Kalsum, ini merasa lebih at home dan in betul bila menikmati gambus.
Di mata para sahabatnya, ia seorang pemimpin pembaharu pemikiran Islam dan mempunyai banyak gagasan. Dialah yang menggagas pertemuan tahunan Menteri-Menteri Agama Negara Brunei Darussalam, Republik Indonesia, Malaysia dan Singapura. Ide dan gagasannya dalam kongres Menteri-Menteri Agama seluruh dunia di Jeddah pada tahun 1988, telah diterima beberapa negara, sehingga diadakan empat kali pertemuan tahunan untuk meningkatkan pembaharuan pemikiran perihal Islam di kalangan negara anggota.
Dalam pengabdiannya, ia telah mendapatkan sejumlah penghargaan, termasuk dari sejumlah negara sahabat. Antara lain, penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana dan Satyalencana Karya Satya Kelas II dari Pemerintah Indonesia, Great Cordon of Merit dari Pemerintah Qatar, Medallion of the Order of Quwait-Special Class dari Kuwati, dan Heung in Medal-Second Class dari Korea Selatan.
Selain Menag Said Agil Husin Al Munawar, sejumlah mantan pejabat dan tokoh yang hadir di rumah duka antara lain mantan Menteri Penerangan Harmoko, mantan Mendagri Rudini, dan mantan Menko Ekuin JB Sumarlin. Selama dirawat di rumah sakit, beberapa tokoh juga menjenguk. Bahkan, mantan Presiden Soeharto baru menjenguknya dua hari sebelum Munawir meninggal.
0 Response to "Prof Dr H Munawir Sjadzali MA Diplomat dan Pembaharu Islam"
Posting Komentar